
MENDULANG PERSATUAN MELALUI PENDIDIKAN MORAL DAN MODERASI BERAGAMA
(Sebuah Catatan Pembentukan Karakter Beragama Peserta Didik)
(Engky Yafmat)
Latar Belakang
Kehidupan sosial masyarakat global dewasa ini kian memprihatinkan.
Betapa tidak, ribuan bahkan jutaan kenyataan terpampang di hadapan kita secara langsung
maupun tidak langsung yang menampakan keberingasan bahkan sampai pada titik terwujudnya
dekadensi moral. Hal ini menandai sebuah fenomena buruk relasi social manusia
dunia. Banyak peristiwa tragis menyanyat jiwa dan melukai raga. Peristiwa terbesar
dan terburuk adalah perang yang membelenggu kenikmatan hidup. Selain itu,
peristiwa-persitiwa atau riak-riak serupa dalam skala kecil merembes sampai
pada pelosok daerah dan hamper pasti dialami oleh setiap individu. Manusia dewasa
ini hidup dengan ditandai kegusaraan dan kegalauan massif. Ada yang galau melihat
orang lain menderita. Ada pula yang galau karena mengalami sendiri situasi kegalauan
tersebut.
Indonesia sendiri menjadi bangsa yang tidak pernah luput
dari kenyataan buruk tersebut. Sebagai bangsa yang berkebhinekaan, kita selalu terdampak
dan terjerumus dalam situasi social tidak mengenakan. Kita boleh berbangga dengan
slogan dan cita-cita bangsa kita yang mengagungkan persatuan dalam keberbedaan.
Sesungguhnya slogan itu masih terbatas pada ruang-ruang khusus. Masih banyak ruang
lain yang menciderahi slogan dan cita-cita luhur bangsa ini sebagai bangsa yang
hidup dalam spirit persatuan dan persaudaraan. Tidak sedikit peristiwa intoleransi
menggema dan menggemparkan republik ini. Pada daerah tertentu ada kelompok etnis
atau agama tertentu misalnya masih terlalu bermegah diri pada kesombongan mayoritarianisme.
Mereka ini selalu merasa diri paling benar dan lebih mendominasi banyak urusan dengan
modal kuantitasnya. Hal ini tak dapat ditampik lagi. Banyak media Nasional dan lokal
menyoroti kenyataan menjenuhkan tersebut. Hal ini masih berkembang karena masih
adanya ketakutan pada beberapa aspek hidup sosial. Kita menemukan adanya fobia perbedaan,
kebhinekaan, radikalisme dan sebagainya. Tantangan ini terasa sangat berat bagi
bangsa Indonesia.
Ketakutan berlebihan terhadap perbedaan dan munculnya radikalisme
bias menjadi pemicu pecahnya konflik sosial. Ada kelompok tertentu di Negara
ini yang alergi dengan perbedaan. Jalan terburuknya adalah radikalisme yang
menyelundupkan kebencian pada ruang-ruang publik. Hal ini sering dipertontonkan
melalui media ketika tokoh-tokoh berpengaruh pada kelompok komunitas tertentu mengumbarkan
secara terang-terangan kebencian dan penolakan pada kelompok lain. Fenomena ini
menumbuhkan inferioritas minoritas serta pesimisme minoritas di tengah mayoritas.
Kelompok minoritas bias mengalami pesimisme dan bahkan fobia pada eksistensinya
sebagai kaum minor.
Kenyataan ini lantas menitipkan sebuah pertanyaan
besar yang menohok “masihkah kita yakin dan optimis sebagai sebuah Negara yang
penuh dengan keberagamaan untuk terus hidup dalam solidaritas dan kemerdekaan?”
Rasa-rasanya gampang-gampang susah. Kita membutuhkan banyak amunisi kepala dingin
dan hati yang lembut untuk menenun cita-cita tersebut. Menyadari betapa krusialnya
peristiwa keterbelungguan ini, penulis masih memiliki seonggokan rasa rindu dengan
pancaran cahaya redup di tengah kegelapan besar ini. Pendidikan kiranya memainkan
peranan penting nan krusial, baik secara formal maupun informal. Oleh karena itu,
semua manusia Indonesia memiliki tanggung jawab penuh pada persoalan tersebut.
Peran Pendidikan di
Tengah Kegundaan Negeri
Pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedagogiek” (pais = anak, gogos =
membimbing/menuntun, iek = ilmu)
adalah ilmu yang membicarakan bagaimana memberikan bimbingan kepada anak. Dalam
bahasa Inggris, pendidikan diterjemahkan menjadi “education” (Yunani: educare)
yang berarti membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun agar
tumbuh dan berkembang. Dalam bahasa Indonesia, pendidikan berarti proses
mendidik atau melakukan sebuah kegiatan yang mengandung proses komunikasi pendidikan
antara yang mendidik dan yang dididik.[1] Melalui
masukan-masukan kepada peserta didik yang secara sadar akan dicerna oleh jiwa,
akal maupun raganya sehingga pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan
yang dituju oleh pendidikan tersebut.
Definisi pendidikan di atas menitipkan sebuah makna bahwa
pendidikan merupakan sebuah jalan pembinaan anak menuju kedewasaan dan
kematangan dalam ranah jiwanya sebagai manusia yang utuh. Dia (anak) perlu dibimbing
untuk bermutu pada karakter, pengetahuan, dan keterampilan. Pembinaan anak perlu
dijiwai sungguh-sungguh; berarti sebuah pendampingan yang mengedepankan pendewasaan
ke-aku-an anak tersebut. Ini berarti kita tidak boleh memaksakan anak untuk menjadi
orang lain bagi dirinya. Sebaliknya, mendidik mereka menjadi dirinya sendiri dengan
segala keberadannya sebagai pribadi. Kita menghormati dia sebagai pribadi yang
unik. Jalan menuju kedewasaan dan perubahan diri tersebut dapat dibimbing melalui
upaya meningkatkan kualitas atau mutunya pada aspek pengetahuan, keterampilan,
dan sikap.
Pendidikan sangatlah penting dan merupakan sebuah kemendesakan
bagi setiap anak bangsa. Pendidikan tidak boleh dan tidak diijinkan untuk terlambat.
Oleh karena itu, pendidikan anak terutama dan pertama-tama harus dimulai dari komunitas
akar rumputnya sendiri, yakni keluarga. Keluarga merupakan locus dan
focus utama pendidikan anak. Keberhasilan anak lebih banyak diperoleh melalui
pembinaan pendidikan dalam keluarga. Hal ini yang disebut dengan pendidikan
primer dan sifatnya informal. Sedangkan pendidkan pada jenjang yang lebih
formal adalah pendidkan sekunder. Pendidikan sekunder artinya pendidikan lanjutan
yang ditandai dengan terbentuknya lembaga resmi. Oleh karena itu, penting bagi setiap
keluarga untuk tidak hanya menyadari hal ini melainkan juga dan terutama untuk lekas
menghidupi pemahaman tersebut dalam hidup sehari-hari. Pendidikan formal
sejatinya perlu melakukan kolaborasi dengan orangtua dalam mengenal karakter anak
didiknya demi terwujudnya kualitas pendidikan yang lebih baik dan mudah untuk dijalankan.
Gambaran Pendidikan Zaman
Now
Era ini, pendidikan berubah dan selalu berkembang sesuai
denga hakekatnya yang mengakomodir sifat dinamis dan fleksibilitasnya. Catatan ini
juga yang mungkin dijadikan sebagai acuan para pemegang wewenang kurikulum.
Kurikulum yang diterapkan di Indonesia hingga dewasa ini selalu mengalami pergantian.
Serasa setiap menteri pendidikan wajib membawa program dan modelnya sendiri.
Perubahan dan gonta-ganti kurikulum tampaknya sejauh pengalaman sayap ribadi tidak
memiliki muatan yang jauh lebih bermakna pada setiap pergantiannya. Apapun kurikulumnya,
pendidikan yang disajikan masih hamper sama. Bahkan saat ini saya perlu dan
berwajib untuk memberi catatan kritikan terhadap system kurikulum yang baru.
Kemerdekaan yang dimegahkan oleh kurikulum saat ini tampaknya
mengurangi daya juang belajar siswa pada aspek pengetahuan, menumbuhkan rasa
egois dan kesombongan pada aspek karakter. Satu-satunya yang lebih baik menurut
saya adalah menumbuhkan keterampilan pribadi karena adanya kebebasan. Akan
tetapi, kebebasan atau kemerdekaan siswa justru sering kebablasan pada praktik mogok
menaruh rasa hormat pada guru dan aturan. Bagaimana tidak, mereka diistimewakan
untuk harus dan wajib lulus apa pun keadaannya. Sesuatu yang cukup jenaka dan
menggelitik geli untuk saya secara pribadi. Kita menuntut karakter yang baik
pada satusisi. Akan tetapi, di sisi lain kita membuka lubang dan pintu menganga
pada mereka dengan dasar kemerdekaan belajar. Kurikulum merdeka pada jaman milenial
dan generasi Z ini secara perlahan membawa situasi kolonialis terhdap guru dan
aturan sekolah.
Pendidikan sekarang mengedepankan kemerdekaan tanpa mempertimbangkan
kewajiban moral dan etika peserta didik. Peserta didik diagungkan; gurunya digugurkan.
Penting bagi pendidikan Indonesia untuk betul-betul merdeka dalam pendidikan tertapi
dengan tetap berdiri pada implementasi dan ketertiban moral dan etika. Siapa
pun yang melanggar etika, wajib untuk menanggung risiko terhadapnya. Karena
itu, menurut saya pendidikan jaman sekarang harus dimulai dengan pendidikan
moral pada tingkat dasar; supaya ketika siswa pergi pada tingkat yang lebih tinggi,
setidaknya mereka sudah bermodalkan etika yang baik. Kemerdekaan itu akan terwujud
dalam tangagung jawab bukan pada kebebasan seturut kemauan sepihak siswa.
Pendidikan moral berarti upaya untuk mensistematiskan pengetahuan
tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut dari kita.[2]
Moral atau etika perlu mendapatkan tempat yang utama dalam diri seseorang. Hal
ini akan sangat berdampak pada penilaian orang lain terhadap diri kita. Selain itu,
prilaku moral juga menghantar orang pada kelayakannya mendapatkan rasa hormat.
Sebaliknya, prilaku tidak bermoral akan menjadi palu dan benalu bagi orang
lain. Manusia sejak menganal pengetahuan menurut para Filsuf kuno dan abad pertengahan
sebetulnya sudah selalu menyuarakan pentingnya pendidikan moral. Socrates
misalnya mengatakan dengan sangat lugas bahwa penting bagi kita untuk mengetahui
tentang “bagaimana seharusnya kita hidup” dan mengapa demikian. Penegetahuan
dan kebijaksanaan memiliki hubungan yang sangat khas. Pengetahuan dan kebijaksanaan
adalah hal yang satu, artinya orang yang bijak akan tahu mana yang benar dan
melakukan yang benar itu. Maka akan sangat bermanfaat jika kita memulai pendidikan
kita dengan penekanan pada etika dan moralitas. Seperti bangunan, pendidikan
yang kuat harus dimulai dengan dasarnya pada pendidikan moral. Dengan demikian,
kurikulum pun diganti seberapa sering, bangsa kita sejatinya sudah bertumbuh
dan bertumpu pada pendidikan moral. Sekalipun pendidikan itu diberi nama dan
praktik kemerdekaan, orang tetap bertekun pada semangat dasar untuk saling menghargai
sebagai implikasi dari pendidikan moral.
Pandangan Gereja Katolik tentang
Hidup di Tengah Keberagamaan
Gereja
Katolik pernah berada pada situasi eksklusif terhadap dunia dan bahkan melahirkan
radikalisme terutama abad XV. Pada saat itu Gereja bahkan terkenal dengan sebuah
ajaran “extra ecclesiam nula salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan).
Gambaran ini meunjukkan bahwa Gereja pernah berada pada masa gelap. Akan
tetapi, melalui Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 mulai memancarkan cahaya baru.
Gereja mengalami revolusi besar pasca Konsili Vatikan II tersebut. Gereja kemudian
menjadi inklusif pada dunia. Gereja mengajarkan pentingnya toleransi dan
solidaritas terhadap keberagamaan. Menurut ajarannya dalam Lumen Gentium,
Gereja menekankan pentingnya inklusifitas iman yang ditampakan melalui sikap penerimaan
dan penghormatan terhadap kelompok social atau iman yang lain. Sejak abad XV
melalui Paus Paulus VI Gereja mengalami revolusi besar-besaran.
Gereja
mulai menerima dan mengakui segala perbedaan sebagai kekayaan. Keberbedaan adalah
sebuah bentuk baru dari kekayaan makna persaudaraan. Orang akan diuji spirit persaudaraannya
dengan keberbedaan. Gereja melalui dokumen Lumen Gentium menekankan pentingnya mengayomi
segala perbedaan dalam dimensi agama, suku, ras, antargolongan, kebudayaan, dan
sebagainya. Beberapa tokoh penting Gereja turut menyuarakan inklusifitas Gereja.
Paus Yohanes Paulus II menggariskan inkulturasi sebagai bagian integral dari kehidupan
dan ritus liturgi. Pada sisi lain, Paus Benediktus XVI mendengungkan interkulturalitas.
Sedangakan Paus Fransiskus menggariskan transkulturalitas yang membuka pintu
dialog.
Keterbukaan
Gereja tampak pada semua aspek kehidupan manusia dan menyapa segala ciptaan.
Melalui dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh para Paus, Gereja melakukan
gebrakan luar biasa. Paus Fransiskus misalnya; mengajak semua orang untuk terlibat
sebagai agen perdamaian dan pewarta kabar gembira pada persaudaraan kosmis.
Daya persaudaraan kosmis ini lantas mengikat perjanjian manusia secara vertical
dengan Tuhan dan perjanjian horizontal dengan sesame manusia dan ciptaan.
Semuanya dibalut dalam integritas persaudaraan ekologis. Paus Fransiskus melalui
dokumen ensiklik Laudato Si menegaskan pentingnya mewujudkan kecintaan
dan semangat persaudaraan terhadap lingkungan dan semua ciptaan. Kehidupan yang
sarat persaudaraan memungkinkan dan memudahkan terwujudnya perdamaian semesta.
Oleh karena itu, keterbukaan merupakan kunci sukses terwujudnya hal ini. Semua
orang beriman perlu membuka pintu hati bagi masuknya orang lain maupun perkembangan
dunia dengan segala keberbedaannya. Karakter keterbukaan serentak menjadi teramat
penting bagi terwujudnya toleransi.
Mewujudkan Moderasi Beragama
sebagai Jalan Mendulang Persatuan Sejati
Penguatan moderasi beragama di Sekolah Menengah Kejuruan menjadi
sebuah keniscayaan karena pada dasarnya siswa SMK adalah anak
yang sedang dalam fase memahami dan mengetahui serta mulai membedakan
antara kebaikan dan keburukan dalam relasi social yang jauh lebih kompleks. Pembahasan
moderasi beragama ini berangkat dari situasi social bangsa yang kian hari disayati
peristiwa-peristiwa intoleransi. Siswa sekolah menengah merupakan siswa
yang menghadapi transformasi drastis secara mental dan fisik. Mereka mempunyai
masalah emosional yang parah apabila tidak diterima dalam lingkungan sekolah maupun
lingkungan pertemanannya (teman sebaya). Hal ini menjadi bukti bahwa
mereka masih polos sehingga mudah dipengaruhi dan mereka hanya didominasi oleh
perangurunya. Di arena itu, sebagai upaya untuk menancapkan landasan
yang kokoh pada perkembangan keilmuannya, siswa harus diwarnai dengan
cita-cita moderasi beragama. Upaya penanaman cita-cita keagamaan pada
siswa dimulai dengan memberikan kepada mereka nilai keimanan, nilai iman,
dan nilai akhlak. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menerima
dan memahami makna moderasi beragama, nilai-nilai kehidupan umum serta prinsip-prinsip
penerapannya.
Moderasi
secara sederhana didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran ekstremisme
(https:kemenag.go.id;
diakses pada 27 September 2024).
Orang perlu memiliki sikap yang moderat, yaitu bersikap wajar atau biasa-biasa saja
dan tidak ekstrem. Hal ini menekankan pentingnya jalan tengah dalam membangun relasi
di tengah keberbedaan. Moderasi tidak lalu diartikan senada dengan netralitas;
sebab netralitas juga memiliki titik negatif pada aspek dan persoalan tertentu.
Netral tidak selalu tepat digunakan dalam hidup. Sedangkan moderasi lebih pada
mendudukan persoalan pada prinsip kesetaraan dan toleransi. Moderasi dapat dihayati
dalam banyak dimensi kehidupan manusia. Pada coretan ini, penulis ingin memusatkan
moderasi dalam kehidupan beragama berdasarkan latar belakang penulisan ini.
Moderasi beragama berarti cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami
dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ektrem (www.mtsnkampak.sch.id; akses pada
27 September 2024).
Moderasi beragama saat ini
mendesak diterapkan pada setiap lembaga pendidikan. Hal ini dapat dijadikan sebagai
amunisi pembentukan karakter beragama demi mendulang semangat persatuan berasaskan
toleransi dan siolidaritas sosial. Moderasi beragama memiliki standar-standar khusus.
Standar moderasi beragama antara lain komitmen kebangsaaan, toleransi, anti
kekerasan dan menghargai kebhinekaan serta akomodatif terhadap budaya lokal.
Inilah cita-cita serta kriteria terwujudnya karakter beragama peserta didik.
Standar-standar tersebut perlu dibangun dengan ketat pada setiap lembaga pendidikan
dan perlu kooperatif dengan banyak pihak, seperti orangtua/wali dan masyarakat serta
pemerintah setempat.
Standar modersai beragama yang dimaksudkan di atas perlu didukung
dengan kegiatan nyata pada komunitas pendidikan. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu
dimasukan dalam program pendidikan dan mungkin kegiatan ekstrakurikuler dan
kokurikuler. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat tersingkap dalam bentuk budaya moderasi
sekolah, intrakurikuler dan kokurikuler, ekstrakurikuler, program pembentukan psikologi
kepribadian dan psikologi belajar siswa serta mengembangkan program pendidikan
Pancasila yang lebih kental dengan aksi-aksi nyata.
Lembaga Pendidikan SMK Swasta St. Aloisius sejauh ini telah
dan sedang menyikapi tuntutan Pendidikan nasional dalam mengimplementasikan moderasi
beragama. Program dan kegiatan Pendidikan yang dicanangkan oleh lembaga ini kiranya
menjadi dasar terbentuknya Pendidikan yang inklusif dan menghargai keberbedaan.
Lembaga ini memiliki spiritutalitas khusus yakni, persaudaraan, kasih, dan
damai. Spiritualitas ini lantas dikembangkan lebih lanjut dalam kalender dan
kegiatan pendidikannya. Moderasi beragama yang penting diimplentasikan selalu mendapat
perhatian khusus melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, katolisitas,
olahraga, dan program dialog social. Melalui ekstrakurikuler pramuka peserta didik
ditanamkan sikap menghargai satu terhadap yang lain, kooperatif, saling melengkapi,
dan toeransi. Demikian pun halnya pada kegiatan katolaisitas. Kegiatan katolisitas
pada SMK Swasta St. Aloisius membuka ruang yang luas juga bagi siswa berkeyakinan
lain seperti Muslim dan Protestan untuk trlibat. Kegiatan ini tidak berujung
pada mengkatolikan siswa dari kelompok agama lain. Sebaliknya, kegiatan ini memiliki
tujuan untuk menciptakan dan menguatkan semangat persatuan pada semua jenis keberbedaan.
Siswa dibantu melalui ajaran-ajaran iman dan ajaran social Gereja Katolik menuju
pribadi yang manusiawi, lebih manusiawi, dan semakin manusiawi. Upaya pemformatan
diri tersebut merupakan jalan menuju implementasi siswa yang Pancasilais dan
berideologi sesuai dasar negara kesatuan Republik Indonesia.
Tuntutan-tuntutan di atas tidak lalu berhenti dan tertuju
pada siswa semata, tetapi juga seluruh warga sekolah termasuk guru dan semua elemen
lainnya. Dengan demikian, upaya pendukung kegiatan ini adalah penghayatan terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan menekankan Pendidikan
Pancasila itu sendiri. Pendidikan Pancasila menitipkan urgensitas yang tinggi bagi
anak-anak bangsa. Kelima nilainya menjadi dasar pijakan hidup berbangsa dan
bernegara yang baik. Pendidikan Pancasila merupakan pelajaran yang memberikan pedoman kepada setiap
insan untuk mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa
dan Negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan
dasar Negara Republik Indonesia. Dengan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di
sekolah, diharapkan dapat tercipta wahana pembelajaran bagi warganya untuk secara
akademik mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa
dan negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan
dasar negara Republik Indonesia. Penerapan Pendidikan Pancasila pada Lembaga
SMK Swasta St. Aloisius tidak semata-mata diperoleh melalui Pembelajaran khusus
melainkan juga pada setiap kegiatan ekstra yang diselenggarakan. Hal ini merupakan
jalan menuju pembentukan karakter kebangsaan. Pemberlakuan kegiatan dan penanaman
nilai-nilai tersebut secara tersirat mendukung terbentuknya moderasi beragama sehingga
sejauh ini lembaga pendidikan ini sangat peduli dan perhatian pada toleransi terhadap
segala perbedaan, khususnya perbedaan beragama. Implementasi terhadap Pancasila
menurut hemat penulis sudah dan selalu menjadi perhatian utama lembaga ini.
Kesimpulan
Kenyataan sosial yang
manyajikan beragama masalah intoleransi di Republik ini menandakan bahwa bangsa
ini sedang tidak baik-baik saja. Persoalan social semacam ini merupakan ancaman
serius bagi persatuan bangsa kita yang disokong oleh nilai luhur Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila secara terang-terangan diinjak-injak oleh oknum yang
alergi terhadap kebhinekaan. Oleh karena itu, semua elemen dan semua pihak mesti
memiliki kesadaran yang sama akan bahaya tersebut. Pendidikan menjadi salah
satu lembaga yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan dan mengembalikan
semangat persatuan. Pendidikan bersama pemerintah dan orang tua siswa didesak untuk
kooperatif dalam memikirkan dan menanggulangi persoalan carut-marutnya kehidupan
bangsa ini.
Lembaga Pendidikan
dapat mengimplementasikan Pendidikan moral, Pendidikan Pancasila, dan kesadaran
moderasi beragama pada setiap anak bangsa yang dididiknya. Pendidikan di
Indoseia perlu didasari dengan sangat ketat pada dimensi moral dan etika. Lebih
daripada itu, Pendidikan yang perlu juga diterapkan adalah Pendidikan moderasi beragama
dan Pendidikan pancasila. Mengapa demikaian? Karena permasalahan yang sangat pelik
sekarang adalah problematika yang merong-rong kehidupan beragama. Setiap lembaga
pendidikan perlu menguatkan dimensi tersebut sebagai upaya preventif atau pencegahan.
Dengan demikian, persoalan intoleransi dapat secara perlahan-lahan dikurangi menuju
persatuan hidup berbangsa dan bernegara.
REFERENSI
Depdikbud,
1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Elly
M. Setiadi, 2003, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Fahri,
Mohammad., Zainuri, Ahmad,2019, Moderasi Beragama di Indonesia, Jurnal Raden
Fattah: Intizar. 25(2). Desember.
H.
De Vos, 1987, Pengantar Etika, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Kementrian
Agama RI, 2019,Moderasi Beragama, Departemen Agama RI, Jakarta.
Majir,
Abdul, 2017, Ilmu Pendidikan Teoretis, CV Infomedika, Jakarta.
Rachels,
James, 2004, Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta.
Riyanto,
Armada, dkk. (2025). KearifanLokalPancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan,
Yogyakarta: Kanisius.
Saputra,
A. Widyahadi, 1999, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, Sekreatriat Komisi
PSE/APP-KAJ, Jakarta.