NEWS UPDATE :  
SMK SWASTA SANTO ALOISIUS

Berita

MENDULANG PERSATUAN MELALUI PENDIDIKAN MORAL DAN MODERASI BERAGAMA

(Sebuah Catatan Pembentukan Karakter Beragama Peserta Didik)

(Engky Yafmat)

Latar Belakang

Kehidupan sosial masyarakat global dewasa ini kian memprihatinkan. Betapa tidak, ribuan bahkan jutaan kenyataan terpampang di hadapan kita secara langsung maupun tidak langsung yang menampakan keberingasan bahkan sampai pada titik terwujudnya dekadensi moral. Hal ini menandai sebuah fenomena buruk relasi social manusia dunia. Banyak peristiwa tragis menyanyat jiwa dan melukai raga. Peristiwa terbesar dan terburuk adalah perang yang membelenggu kenikmatan hidup. Selain itu, peristiwa-persitiwa atau riak-riak serupa dalam skala kecil merembes sampai pada pelosok daerah dan hamper pasti dialami oleh setiap individu. Manusia dewasa ini hidup dengan ditandai kegusaraan dan kegalauan massif. Ada yang galau melihat orang lain menderita. Ada pula yang galau karena mengalami sendiri situasi kegalauan tersebut.

Indonesia sendiri menjadi bangsa yang tidak pernah luput dari kenyataan buruk tersebut. Sebagai bangsa yang berkebhinekaan, kita selalu terdampak dan terjerumus dalam situasi social tidak mengenakan. Kita boleh berbangga dengan slogan dan cita-cita bangsa kita yang mengagungkan persatuan dalam keberbedaan. Sesungguhnya slogan itu masih terbatas pada ruang-ruang khusus. Masih banyak ruang lain yang menciderahi slogan dan cita-cita luhur bangsa ini sebagai bangsa yang hidup dalam spirit persatuan dan persaudaraan. Tidak sedikit peristiwa intoleransi menggema dan menggemparkan republik ini. Pada daerah tertentu ada kelompok etnis atau agama tertentu misalnya masih terlalu bermegah diri pada kesombongan mayoritarianisme. Mereka ini selalu merasa diri paling benar dan lebih mendominasi banyak urusan dengan modal kuantitasnya. Hal ini tak dapat ditampik lagi. Banyak media Nasional dan lokal menyoroti kenyataan menjenuhkan tersebut. Hal ini masih berkembang karena masih adanya ketakutan pada beberapa aspek hidup sosial. Kita menemukan adanya fobia perbedaan, kebhinekaan, radikalisme dan sebagainya. Tantangan ini terasa sangat berat bagi bangsa Indonesia.

Ketakutan berlebihan terhadap perbedaan dan munculnya radikalisme bias menjadi pemicu pecahnya konflik sosial. Ada kelompok tertentu di Negara ini yang alergi dengan perbedaan. Jalan terburuknya adalah radikalisme yang menyelundupkan kebencian pada ruang-ruang publik. Hal ini sering dipertontonkan melalui media ketika tokoh-tokoh berpengaruh pada kelompok komunitas tertentu mengumbarkan secara terang-terangan kebencian dan penolakan pada kelompok lain. Fenomena ini menumbuhkan inferioritas minoritas serta pesimisme minoritas di tengah mayoritas. Kelompok minoritas bias mengalami pesimisme dan bahkan fobia pada eksistensinya sebagai kaum minor.

Kenyataan ini lantas menitipkan sebuah pertanyaan besar yang menohok “masihkah kita yakin dan optimis sebagai sebuah Negara yang penuh dengan keberagamaan untuk terus hidup dalam solidaritas dan kemerdekaan?” Rasa-rasanya gampang-gampang susah. Kita membutuhkan banyak amunisi kepala dingin dan hati yang lembut untuk menenun cita-cita tersebut. Menyadari betapa krusialnya peristiwa keterbelungguan ini, penulis masih memiliki seonggokan rasa rindu dengan pancaran cahaya redup di tengah kegelapan besar ini. Pendidikan kiranya memainkan peranan penting nan krusial, baik secara formal maupun informal. Oleh karena itu, semua manusia Indonesia memiliki tanggung jawab penuh pada persoalan tersebut.

Peran Pendidikan di Tengah Kegundaan Negeri

Pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedagogiek” (pais = anak, gogos = membimbing/menuntun, iek = ilmu) adalah ilmu yang membicarakan bagaimana memberikan bimbingan kepada anak. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diterjemahkan menjadi “education” (Yunani: educare) yang berarti membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang. Dalam bahasa Indonesia, pendidikan berarti proses mendidik atau melakukan sebuah kegiatan yang mengandung proses komunikasi pendidikan antara yang mendidik dan yang dididik.[1] Melalui masukan-masukan kepada peserta didik yang secara sadar akan dicerna oleh jiwa, akal maupun raganya sehingga pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan yang dituju oleh pendidikan tersebut.

Definisi pendidikan di atas menitipkan sebuah makna bahwa pendidikan merupakan sebuah jalan pembinaan anak menuju kedewasaan dan kematangan dalam ranah jiwanya sebagai manusia yang utuh. Dia (anak) perlu dibimbing untuk bermutu pada karakter, pengetahuan, dan keterampilan. Pembinaan anak perlu dijiwai sungguh-sungguh; berarti sebuah pendampingan yang mengedepankan pendewasaan ke-aku-an anak tersebut. Ini berarti kita tidak boleh memaksakan anak untuk menjadi orang lain bagi dirinya. Sebaliknya, mendidik mereka menjadi dirinya sendiri dengan segala keberadannya sebagai pribadi. Kita menghormati dia sebagai pribadi yang unik. Jalan menuju kedewasaan dan perubahan diri tersebut dapat dibimbing melalui upaya meningkatkan kualitas atau mutunya pada aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Pendidikan sangatlah penting dan merupakan sebuah kemendesakan bagi setiap anak bangsa. Pendidikan tidak boleh dan tidak diijinkan untuk terlambat. Oleh karena itu, pendidikan anak terutama dan pertama-tama harus dimulai dari komunitas akar rumputnya sendiri, yakni keluarga. Keluarga merupakan locus dan focus utama pendidikan anak. Keberhasilan anak lebih banyak diperoleh melalui pembinaan pendidikan dalam keluarga. Hal ini yang disebut dengan pendidikan primer dan sifatnya informal. Sedangkan pendidkan pada jenjang yang lebih formal adalah pendidkan sekunder. Pendidikan sekunder artinya pendidikan lanjutan yang ditandai dengan terbentuknya lembaga resmi. Oleh karena itu, penting bagi setiap keluarga untuk tidak hanya menyadari hal ini melainkan juga dan terutama untuk lekas menghidupi pemahaman tersebut dalam hidup sehari-hari. Pendidikan formal sejatinya perlu melakukan kolaborasi dengan orangtua dalam mengenal karakter anak didiknya demi terwujudnya kualitas pendidikan yang lebih baik dan mudah untuk dijalankan.

Gambaran Pendidikan Zaman Now

Era ini, pendidikan berubah dan selalu berkembang sesuai denga hakekatnya yang mengakomodir sifat dinamis dan fleksibilitasnya. Catatan ini juga yang mungkin dijadikan sebagai acuan para pemegang wewenang kurikulum. Kurikulum yang diterapkan di Indonesia hingga dewasa ini selalu mengalami pergantian. Serasa setiap menteri pendidikan wajib membawa program dan modelnya sendiri. Perubahan dan gonta-ganti kurikulum tampaknya sejauh pengalaman sayap ribadi tidak memiliki muatan yang jauh lebih bermakna pada setiap pergantiannya. Apapun kurikulumnya, pendidikan yang disajikan masih hamper sama. Bahkan saat ini saya perlu dan berwajib untuk memberi catatan kritikan terhadap system kurikulum yang baru.

Kemerdekaan yang dimegahkan oleh kurikulum saat ini tampaknya mengurangi daya juang belajar siswa pada aspek pengetahuan, menumbuhkan rasa egois dan kesombongan pada aspek karakter. Satu-satunya yang lebih baik menurut saya adalah menumbuhkan keterampilan pribadi karena adanya kebebasan. Akan tetapi, kebebasan atau kemerdekaan siswa justru sering kebablasan pada praktik mogok menaruh rasa hormat pada guru dan aturan. Bagaimana tidak, mereka diistimewakan untuk harus dan wajib lulus apa pun keadaannya. Sesuatu yang cukup jenaka dan menggelitik geli untuk saya secara pribadi. Kita menuntut karakter yang baik pada satusisi. Akan tetapi, di sisi lain kita membuka lubang dan pintu menganga pada mereka dengan dasar kemerdekaan belajar. Kurikulum merdeka pada jaman milenial dan generasi Z ini secara perlahan membawa situasi kolonialis terhdap guru dan aturan sekolah.

Pendidikan sekarang mengedepankan kemerdekaan tanpa mempertimbangkan kewajiban moral dan etika peserta didik. Peserta didik diagungkan; gurunya digugurkan. Penting bagi pendidikan Indonesia untuk betul-betul merdeka dalam pendidikan tertapi dengan tetap berdiri pada implementasi dan ketertiban moral dan etika. Siapa pun yang melanggar etika, wajib untuk menanggung risiko terhadapnya. Karena itu, menurut saya pendidikan jaman sekarang harus dimulai dengan pendidikan moral pada tingkat dasar; supaya ketika siswa pergi pada tingkat yang lebih tinggi, setidaknya mereka sudah bermodalkan etika yang baik. Kemerdekaan itu akan terwujud dalam tangagung jawab bukan pada kebebasan seturut kemauan sepihak siswa.

Pendidikan moral berarti upaya untuk mensistematiskan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut dari kita.[2] Moral atau etika perlu mendapatkan tempat yang utama dalam diri seseorang. Hal ini akan sangat berdampak pada penilaian orang lain terhadap diri kita. Selain itu, prilaku moral juga menghantar orang pada kelayakannya mendapatkan rasa hormat. Sebaliknya, prilaku tidak bermoral akan menjadi palu dan benalu bagi orang lain. Manusia sejak menganal pengetahuan menurut para Filsuf kuno dan abad pertengahan sebetulnya sudah selalu menyuarakan pentingnya pendidikan moral. Socrates misalnya mengatakan dengan sangat lugas bahwa penting bagi kita untuk mengetahui tentang “bagaimana seharusnya kita hidup” dan mengapa demikian. Penegetahuan dan kebijaksanaan memiliki hubungan yang sangat khas. Pengetahuan dan kebijaksanaan adalah hal yang satu, artinya orang yang bijak akan tahu mana yang benar dan melakukan yang benar itu. Maka akan sangat bermanfaat jika kita memulai pendidikan kita dengan penekanan pada etika dan moralitas. Seperti bangunan, pendidikan yang kuat harus dimulai dengan dasarnya pada pendidikan moral. Dengan demikian, kurikulum pun diganti seberapa sering, bangsa kita sejatinya sudah bertumbuh dan bertumpu pada pendidikan moral. Sekalipun pendidikan itu diberi nama dan praktik kemerdekaan, orang tetap bertekun pada semangat dasar untuk saling menghargai sebagai implikasi dari pendidikan moral.

Pandangan Gereja Katolik tentang Hidup di Tengah Keberagamaan

Gereja Katolik pernah berada pada situasi eksklusif terhadap dunia dan bahkan melahirkan radikalisme terutama abad XV. Pada saat itu Gereja bahkan terkenal dengan sebuah ajaran “extra ecclesiam nula salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Gambaran ini meunjukkan bahwa Gereja pernah berada pada masa gelap. Akan tetapi, melalui Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 mulai memancarkan cahaya baru. Gereja mengalami revolusi besar pasca Konsili Vatikan II tersebut. Gereja kemudian menjadi inklusif pada dunia. Gereja mengajarkan pentingnya toleransi dan solidaritas terhadap keberagamaan. Menurut ajarannya dalam Lumen Gentium, Gereja menekankan pentingnya inklusifitas iman yang ditampakan melalui sikap penerimaan dan penghormatan terhadap kelompok social atau iman yang lain. Sejak abad XV melalui Paus Paulus VI Gereja mengalami revolusi besar-besaran.

Gereja mulai menerima dan mengakui segala perbedaan sebagai kekayaan. Keberbedaan adalah sebuah bentuk baru dari kekayaan makna persaudaraan. Orang akan diuji spirit persaudaraannya dengan keberbedaan. Gereja melalui dokumen Lumen Gentium menekankan pentingnya mengayomi segala perbedaan dalam dimensi agama, suku, ras, antargolongan, kebudayaan, dan sebagainya. Beberapa tokoh penting Gereja turut menyuarakan inklusifitas Gereja. Paus Yohanes Paulus II menggariskan inkulturasi sebagai bagian integral dari kehidupan dan ritus liturgi. Pada sisi lain, Paus Benediktus XVI mendengungkan interkulturalitas. Sedangakan Paus Fransiskus menggariskan transkulturalitas yang membuka pintu dialog.

Keterbukaan Gereja tampak pada semua aspek kehidupan manusia dan menyapa segala ciptaan. Melalui dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh para Paus, Gereja melakukan gebrakan luar biasa. Paus Fransiskus misalnya; mengajak semua orang untuk terlibat sebagai agen perdamaian dan pewarta kabar gembira pada persaudaraan kosmis. Daya persaudaraan kosmis ini lantas mengikat perjanjian manusia secara vertical dengan Tuhan dan perjanjian horizontal dengan sesame manusia dan ciptaan. Semuanya dibalut dalam integritas persaudaraan ekologis. Paus Fransiskus melalui dokumen ensiklik Laudato Si menegaskan pentingnya mewujudkan kecintaan dan semangat persaudaraan terhadap lingkungan dan semua ciptaan. Kehidupan yang sarat persaudaraan memungkinkan dan memudahkan terwujudnya perdamaian semesta. Oleh karena itu, keterbukaan merupakan kunci sukses terwujudnya hal ini. Semua orang beriman perlu membuka pintu hati bagi masuknya orang lain maupun perkembangan dunia dengan segala keberbedaannya. Karakter keterbukaan serentak menjadi teramat penting bagi terwujudnya toleransi.

Mewujudkan Moderasi Beragama sebagai Jalan Mendulang Persatuan Sejati

            Penguatan moderasi beragama di Sekolah Menengah Kejuruan menjadi sebuah keniscayaan karena pada dasarnya siswa SMK adalah anak yang sedang dalam fase memahami dan mengetahui serta mulai membedakan antara kebaikan dan keburukan dalam relasi social yang jauh lebih kompleks. Pembahasan moderasi beragama ini berangkat dari situasi social bangsa yang kian hari disayati peristiwa-peristiwa intoleransi. Siswa sekolah menengah merupakan siswa yang menghadapi transformasi drastis secara mental dan fisik. Mereka mempunyai masalah emosional yang parah apabila tidak diterima dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan pertemanannya (teman sebaya). Hal ini menjadi bukti bahwa mereka masih polos sehingga mudah dipengaruhi dan mereka hanya didominasi oleh perangurunya. Di arena itu, sebagai upaya untuk menancapkan landasan yang kokoh pada perkembangan keilmuannya, siswa harus diwarnai dengan cita-cita moderasi beragama. Upaya penanaman cita-cita keagamaan pada siswa dimulai dengan memberikan kepada mereka nilai keimanan, nilai iman, dan nilai akhlak. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menerima dan memahami makna moderasi beragama, nilai-nilai kehidupan umum serta prinsip-prinsip penerapannya.

 


Moderasi secara sederhana didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran ekstremisme (https:kemenag.go.id; diakses pada 27 September 2024). Orang perlu memiliki sikap yang moderat, yaitu bersikap wajar atau biasa-biasa saja dan tidak ekstrem. Hal ini menekankan pentingnya jalan tengah dalam membangun relasi di tengah keberbedaan. Moderasi tidak lalu diartikan senada dengan netralitas; sebab netralitas juga memiliki titik negatif pada aspek dan persoalan tertentu. Netral tidak selalu tepat digunakan dalam hidup. Sedangkan moderasi lebih pada mendudukan persoalan pada prinsip kesetaraan dan toleransi. Moderasi dapat dihayati dalam banyak dimensi kehidupan manusia. Pada coretan ini, penulis ingin memusatkan moderasi dalam kehidupan beragama berdasarkan latar belakang penulisan ini. Moderasi beragama berarti cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ektrem (www.mtsnkampak.sch.id; akses pada 27 September 2024).

                Moderasi beragama saat ini mendesak diterapkan pada setiap lembaga pendidikan. Hal ini dapat dijadikan sebagai amunisi pembentukan karakter beragama demi mendulang semangat persatuan berasaskan toleransi dan siolidaritas sosial. Moderasi beragama memiliki standar-standar khusus. Standar moderasi beragama antara lain komitmen kebangsaaan, toleransi, anti kekerasan dan menghargai kebhinekaan serta akomodatif terhadap budaya lokal. Inilah cita-cita serta kriteria terwujudnya karakter beragama peserta didik. Standar-standar tersebut perlu dibangun dengan ketat pada setiap lembaga pendidikan dan perlu kooperatif dengan banyak pihak, seperti orangtua/wali dan masyarakat serta pemerintah setempat.

            Standar modersai beragama yang dimaksudkan di atas perlu didukung dengan kegiatan nyata pada komunitas pendidikan. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu dimasukan dalam program pendidikan dan mungkin kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat tersingkap dalam bentuk budaya moderasi sekolah, intrakurikuler dan kokurikuler, ekstrakurikuler, program pembentukan psikologi kepribadian dan psikologi belajar siswa serta mengembangkan program pendidikan Pancasila yang lebih kental dengan aksi-aksi nyata.

            Lembaga Pendidikan SMK Swasta St. Aloisius sejauh ini telah dan sedang menyikapi tuntutan Pendidikan nasional dalam mengimplementasikan moderasi beragama. Program dan kegiatan Pendidikan yang dicanangkan oleh lembaga ini kiranya menjadi dasar terbentuknya Pendidikan yang inklusif dan menghargai keberbedaan. Lembaga ini memiliki spiritutalitas khusus yakni, persaudaraan, kasih, dan damai. Spiritualitas ini lantas dikembangkan lebih lanjut dalam kalender dan kegiatan pendidikannya. Moderasi beragama yang penting diimplentasikan selalu mendapat perhatian khusus melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, katolisitas, olahraga, dan program dialog social. Melalui ekstrakurikuler pramuka peserta didik ditanamkan sikap menghargai satu terhadap yang lain, kooperatif, saling melengkapi, dan toeransi. Demikian pun halnya pada kegiatan katolaisitas. Kegiatan katolisitas pada SMK Swasta St. Aloisius membuka ruang yang luas juga bagi siswa berkeyakinan lain seperti Muslim dan Protestan untuk trlibat. Kegiatan ini tidak berujung pada mengkatolikan siswa dari kelompok agama lain. Sebaliknya, kegiatan ini memiliki tujuan untuk menciptakan dan menguatkan semangat persatuan pada semua jenis keberbedaan. Siswa dibantu melalui ajaran-ajaran iman dan ajaran social Gereja Katolik menuju pribadi yang manusiawi, lebih manusiawi, dan semakin manusiawi. Upaya pemformatan diri tersebut merupakan jalan menuju implementasi siswa yang Pancasilais dan berideologi sesuai dasar negara kesatuan Republik Indonesia.

            Tuntutan-tuntutan di atas tidak lalu berhenti dan tertuju pada siswa semata, tetapi juga seluruh warga sekolah termasuk guru dan semua elemen lainnya. Dengan demikian, upaya pendukung kegiatan ini adalah penghayatan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan menekankan Pendidikan Pancasila itu sendiri. Pendidikan Pancasila menitipkan urgensitas yang tinggi bagi anak-anak bangsa. Kelima nilainya menjadi dasar pijakan hidup berbangsa dan bernegara yang baik. Pendidikan Pancasila merupakan pelajaran yang memberikan pedoman kepada setiap insan untuk mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa dan Negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Republik Indonesia. Dengan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di sekolah, diharapkan dapat tercipta wahana pembelajaran bagi warganya untuk secara akademik mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa dan negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Penerapan Pendidikan Pancasila pada Lembaga SMK Swasta St. Aloisius tidak semata-mata diperoleh melalui Pembelajaran khusus melainkan juga pada setiap kegiatan ekstra yang diselenggarakan. Hal ini merupakan jalan menuju pembentukan karakter kebangsaan. Pemberlakuan kegiatan dan penanaman nilai-nilai tersebut secara tersirat mendukung terbentuknya moderasi beragama sehingga sejauh ini lembaga pendidikan ini sangat peduli dan perhatian pada toleransi terhadap segala perbedaan, khususnya perbedaan beragama. Implementasi terhadap Pancasila menurut hemat penulis sudah dan selalu menjadi perhatian utama lembaga ini.

 

Kesimpulan

            Kenyataan sosial yang manyajikan beragama masalah intoleransi di Republik ini menandakan bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Persoalan social semacam ini merupakan ancaman serius bagi persatuan bangsa kita yang disokong oleh nilai luhur Pancasila. Nilai-nilai Pancasila secara terang-terangan diinjak-injak oleh oknum yang alergi terhadap kebhinekaan. Oleh karena itu, semua elemen dan semua pihak mesti memiliki kesadaran yang sama akan bahaya tersebut. Pendidikan menjadi salah satu lembaga yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan dan mengembalikan semangat persatuan. Pendidikan bersama pemerintah dan orang tua siswa didesak untuk kooperatif dalam memikirkan dan menanggulangi persoalan carut-marutnya kehidupan bangsa ini.

            Lembaga Pendidikan dapat mengimplementasikan Pendidikan moral, Pendidikan Pancasila, dan kesadaran moderasi beragama pada setiap anak bangsa yang dididiknya. Pendidikan di Indoseia perlu didasari dengan sangat ketat pada dimensi moral dan etika. Lebih daripada itu, Pendidikan yang perlu juga diterapkan adalah Pendidikan moderasi beragama dan Pendidikan pancasila. Mengapa demikaian? Karena permasalahan yang sangat pelik sekarang adalah problematika yang merong-rong kehidupan beragama. Setiap lembaga pendidikan perlu menguatkan dimensi tersebut sebagai upaya preventif atau pencegahan. Dengan demikian, persoalan intoleransi dapat secara perlahan-lahan dikurangi menuju persatuan hidup berbangsa dan bernegara.

 

REFERENSI

Depdikbud, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Elly M. Setiadi, 2003, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Fahri, Mohammad., Zainuri, Ahmad,2019, Moderasi Beragama di Indonesia, Jurnal Raden Fattah: Intizar. 25(2). Desember.

H. De Vos, 1987, Pengantar Etika, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.

Kementrian Agama RI, 2019,Moderasi Beragama, Departemen Agama RI, Jakarta.

Majir, Abdul, 2017, Ilmu Pendidikan Teoretis, CV Infomedika, Jakarta.

Rachels, James, 2004, Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta.

Riyanto, Armada, dkk. (2025). KearifanLokalPancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, Yogyakarta: Kanisius.

Saputra, A. Widyahadi, 1999, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, Sekreatriat Komisi PSE/APP-KAJ, Jakarta.



[1]Majir, Abdul,Ilmu Pendidikan Teorets(Surabaya:Infomedika,2017),hlm.25.

[2] Rachels, James.Filsafat Moral (Yogiakarta:Kanisius,2004),hlm.17.

SPMB Online 2025
Youtube Channel Sekolah
Banner
Lokasi Sekolah