
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA
Marsianus Satrio Nangku1,
Viktor DB London2
1SMK Santo Aloisius
2Teknik Pengelasan SMK Santo Aloisius
ABSTRAK
Laporan penelitian sebelumnya melaporkan bahwa model pembelajaran yang berbasis penyelidikan dapat meningkatkan kemampuan berpikit kritis siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur efektivitas penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Jenis penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitian post-test only. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X dan sampel yang digunakan yaitu 124 siswa di SMK Swasta Santo Aloisius yang dipilih secara random. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran berbasis masalah di kelas, eksperimen dan model konvensional di kelas kontrol dengan materi kimia yaitu laju reaksi. Instrumen penelitian tes kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh penulis sebelum digunakan terlebih dahulu divalidasi oleh dua ahli teori dan materi. Hasil penelitian menunjukan bahwa siswa yang belajar di kelas eksperimen memiliki perbedaan kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar menggunakan model konvensional.
Kata Kunci: Kemampuan
Berpikir Kritis, Model Pembelajaran Berbasis Masalah, Konvensional, Laju
Reaksi.
PENDAHULUAN
Salah satu peran utama pendidikan adalah mempersiapkan lulusan agar dapat bersaing dan menjawab setiap tantangan perkembangan abad 21 (Trilling & Fadel, 2009; Becerra-Labra et al, 2012). Kondisi pendidikan Indonesia saat ini, sedang melakukan perubahan dalam dunia pendidikan guna mengatasi berbagai tantangan perkembangan di era modern ini. Perubahan yang dilakukan salah satunya adalah merubah kurikulum dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 (K13). Tujuan diberlakukannya K13 ini adalah untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Permendikbud Nomor 69 Tahun 2013).
Agar
tercapai tujuan pendidikan tersebut maka dalam proses pembelajaran harus
mengoptimalkan dan mengembangkan semua kompetensi yang dimiliki peserta didik
dengan cara mempusatkan pembelajaran pada peserta didik (Becerra-Labra, 2012;
Sumarna et al, 2017). Hal ini
didasarkan pada salah satu tujuan pendidikan modern yaitu menumbuhkan individu
yang tahu apa yang mereka pelajari dan mengapa mereka belajar serta mampu
membangun pengetahuannya sendiri (Ozyurt, 2015). Oleh karena itu, sebagai
penerus manusia masa depan, maka para pelajar harus dibekali dan melengkapi
dirinya dengan kemampuan berpikir kritis (Gedik, 2013) dan kemampuan memecahkan
masalah karena keduanya merupakan dasar dalam mempekerjakan orang (Rodzalan
& Saat, 2015; Wartono, Hudha & Batlolona, 2018; Trilling & Fadel,
2009; Ozyurt, 2015).
Kemampuan
berpikir kritis merupakan aktivitas terampil yang mencapai beragam standar
intelektual, seperti kejelasan, relevansi, koherensi dan evaluasi terhadap
pengamatan, dan sumber informasi lainnya (Fisher, 2009). Menurut Ennis (2016),
kemampuan berpikir kritis merupakan pemikiran reflektif dalam memutuskan
sesuatu yang harus dipercaya dan dilakukan. Selain itu, kemampuan berpikir
kritis merupakan kemampuan yang tergolong dalam kemampuan berpikir tingkat
tinggi (Halpern, 1998) yang meliputi level perkembangan kognitif analisis,
evaluasi dan mencipta (Anderson & Krathwohl, 2010). Kemampuan berpikir
kritis merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang proses berpikirnya
mendalam dan logis, sehingga tidak menerima secara holistik semua informasi
baru yang didapat melainkan melalui suatu pemikiran yang reflektif kemudian
menghasilkan suatu keputusan untuk dipercayai dan kemudian diaplikasikan dalam
kehidupannya.
Kemampuan
berpikir kritis perlu ditanamkan dalam diri peserta didik dan diterapkan dalam
proses pembelajaran (Kealey et al,
2005; Mabruroh & Suhandi, 2017) khususnya kimia, karena kemampuan berpikir
kritis merupakan fokus dalam pendidikan dan sangat penting dalam membantu
mengembangkan prestasi akademik (Stupple et
al, 2017; Quitadamo et al, 2008;
Flynn & Biggs, 2012) sehingga menghasilkan pelajar yang kompeten dan
terampil dalam memecahkan masalah dalam kehidupannya (Wartono et al, 2018). Selain itu, pemikiran
kritis merupakan keterampilan yang paling penting sebagai perjalanan sukses
dengan dunia yang semakin dinamis dan kompleks (Halpern, 1998). Kaitannya
dengan ilmu kimia khususnya materi laju reaksi yaitu dapat membantu siswa dalam
mengembangkan kemampuan berpikirnya kritis (Mabruroh & Suhandi, 2017),
karena pada dasarnya hakikat sains yaitu kimia adalah empiris, tentatif,
inferensial, sarat teori, tertanam dalam budaya yang luas, didirikan tanpa
metode ilmiah tertentu, dan kreatif (Kishbaugh et al, 2012). Oleh karena itu, kimia adalah subyek yang relatif
penting dalam pendidikan sains (Bolhassan & Taha, 2016).
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di berbagai bidang seperti ilmu sosial ditemukan
bahwa peserta didik yang lulus dari berbagai negara tidak memiliki kemampuan
untuk bersaing dalam skala global karena tidak memiliki kemampuan berpikir
kritis (Fritjers & Gert, 2012). Hal ini didukung dengan penelitian yang
dilakukan Chartrand (2010) yang menemukan bahwa 70% lulusan sekolah menengah
atas tidak memiliki kemampuan berpikir kritis. Pendidikan di Indonesia juga
masih jauh tertinggal dari negara-negara lain terkait soal ujian nasional,
selama ini soal ujian nasional masih menggunakan soal berpikir tingkat rendah
yaitu pada tingkat menyimpan informasi ilmu pengetahuan (Effendy, 2018;
Sugiarti et al, 2017). Penerapan
kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah dapat meningkatkan motivasi dan
hasil pembelajaran termasuk kimia, karena dengan menggabungkan banyak kemampuan
berpikir maka dapat meningkatkan efektivitas dan bertahannya hasil pembelajaran
(Trilling & Fadel, 2009).
Pengembangan
kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah dapat dipelajari dengan
berbagai kegiatan dan program penyelidikan dan penyelesaiaan masalah (Trilling
& Fadel, 2009; Wartono et al,
2018) terutama dalam materi kimia yaitu laju reaksi. Materi kimia sangat erat
kaitannya dengan kehidupan nyata manusia, dan membutuhkan penyelidikan dalam
memecahkan permasalahan yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, didalam
mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis, maka perlu diterapkan model
pembelajaran yang sesuai (Halpern, 1996). Penggunaan model pembelajaran dalam
proses belajar dapat mempengaruhi pembelajaran dan dapat menentukan hasil akhir
dari kemampuan berpikir kritis peserta didik (Wartono et al, 2018, Everton & Randles, 2015; Mabruroh & Suhandi,
2017). Model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis,
keterampilan belajar mandiri peserta didik kaitannya dengan ilmu kimia adalah
model pembelajaran berbasis masalah (Duch et
al, 2001; Overton & Randles, 2015; Jansson et al, 2015; Haji et al,
2015) yang dalam penerapannya menggunakan kompleks masalah dunia nyata (Tan,
2003; Barrows, 2002) untuk memotivasi peserta didik dalam mengidentifikasi, dan
menganalisis prinsip dan konsep yang dibutuhkan dalam merancang solusi untuk memecahkan
masalah kimia (Flynn & Biggs, 2012; Wirkala & Kuhn, 2011). Ada tiga hal
penting dalam model pembelajaran berbasis masalah yaitu masalah, tutor dan
peserta didik (Sochkalingam & Schmidt, 2011; Leary et al, 2013). Masalah yang diberikan tidak terstruktur sehingga
membutuhkan solusi yang beragam untuk memecahkannya, sehingga kemampuan
kognitif peserta didik secara tidak langsung berkembang (Wirkala & Kuhn,
2011; Savery, 2006; Nariman & Chrispeels, 2015; Chua et al, 2014). Selain itu, siswa juga berkolaborasi dengan teman
kelompok untuk mencari solusi dalam memecahkan masalah (Duch et al, 2001; Wang et al, 2013), sedangkan guru dalam proses pembelajaran berperan
sebagai mentor atau fasilitator dalam memberikan masalah metakognitif,
menyediakan lingkungan belajar yang berpusat pada siswa dan memberikan arahan
tanpa secara langsung memberitahu kepada peserta didik solusi terkait masalah
yang diberikan (Leary et al, 2013;
Downing et al, 2008; Nariman &
Chrispeels, 2015; Arends, 2011).
Berbagai
penelitian yang telah dilakukan mengatakan bahwa penggunaan model pembelajaran
berbasis masalah dapat meningkatkan hasil belajar (Tosun & Senocak, 2013;
Shishigu et al, 2018; Gallagher &
Gallagher, 2013), motivasi (Shishigu et
al, 2018; Overton & Randles, 2015), sikap positif terhadap kimia (Tosun
& Senocak, 2013), dan sukses
diaplikasikan dalam pembelajaran dan diterima dalam berbagai disiplin ilmu
(Savery, 2006).
Berdasarkan
hal di atas, maka perlu untuk menerapkan model pembelajaran berbasis masalah
(PBL) guna mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa terkait
dengan kimia materi laju reaksi. Hal ini dikarenakan, dalam kimia banyak
membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata siswa sehingga
dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) yang membutuhkan
banyak solusi untuk pemecahan masalah akan membantu siswa meningkatkan
kemampuannya (Nachamma & Schmidt, 2011; Overton & Randles, 2015) dalam
menganalisis, mengevaluasi serta menyimpulkan berbagai pemecahan yang merupakan
aspek dalam berpikir kritis (Savin-Baden, 2013; Tan, 2003). Model pembelajaran
berbasis masalah juga menuntut siswa agar mampu berkolaborasi dengan teman
kelompok dalam menyelesaikan atau mengelolah masalah (Arends, 2011). Melihat
efektifnya model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan berbagai
keterampilan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkap keefektifannya
dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam ilmu kimia pada materi laju
reaksi.
METODE
Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain post test only (Creswell, 2013) yang bertujuan untuk mengukur pengaruh model pembelajaran berbasis masalah (PBL) kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis siswa kimia materi laju reaksi melalui studi empiris dan tinjauan teoritis. Penelitian ini memiliki variabel bebas dan variabel terikat. Model pembelajaran berbasis masalah dan konvensional merupakan variabel bebas sedangkan kemampuan berpikir kritis merupakan variabel terikat.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X. Sampel dalam penelitian ini adalah 124 siswa yang dipilih secara acak. Sampel penelitian difokuskan di SMK Santo Aloisius dengan status akreditasi B dan sekolah menerapkan Kurikulum 2013 serta jarang menggunakan laboratorium kimia. Penelitian ini menggunakan dua kelas penelitian yaitu kelas eksperimen (n = 60) dan kelas kontrol (n = 64). Kedua kelas penelitian mendapatkan perlakuan yang berbeda. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dalam proses pembelajaran sedangkan kelas kontrol diberi perlakuan model pembelajaran konvensional. Kelas kimia bertemu selama 2 jam per minggu dan semua siswa mengikuti proses pembelajaran dengan topik laju reaksi.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data kemampuan berpikir kritis yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak 1 kali, dalam bentuk post test. Pengumpulan data dilakukan setelah diberikan perlakuan dalam proses pembelajaran. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian adalah model pembelajaran, yaitu model pembelajaran berbasis masalah (PBL) untuk kelas eksperimen dan model konvensional untuk kelas kontrol. Proses pembelajaran dilakukan mengikuti setiap sintaks yang terdapat dalam model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dan kelas kimia dengan materi laju reaksi yang berlangsung selama 6 kali pertemuan.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan berpikir kritis yang terdiri dari 7 butir soal uraian. Instrumen yang digunakan dikembangkan oleh peneliti dan telah divalidasi oleh ahli kimia dan ahli teori dari Universitas Negeri Yogyakarta-Indonesia. Instrumen ini dikembangkan dengan mengacu pada indikator kemampuan berpikir kritis yaitu klarifikasi dasar, membuat keputusan, kesimpulan dan klarifikasi lanjutan (Ennis, 2016). Instrumen yang digunakan, sebelumnya telah dilakukan uji validasi dan reliabilitas dengan nilai.
Analisis Data
Hasil tes (post test) kemampuan berpikir kritis siswa kimia yang sudah terkumpul dalam penelitian kemudian di analisis menggunakan uji t sampel independen dengan bantuan aplikasi SPSS versi 22 windows untuk mengukur perbedaan model pembelajaran berbasis masalah dan konvensional dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Interval kepercayaan 95% yang digunakan dalam penelitian ini, mengindikasikan alfha atau tingkat signifikansi 0,05, digunakan dalam semua analisis. Uji prasyarat yang dilakukan atau harus dipenuhi sebelum dilakukan uji t sampel independen yaitu uji normalitas dan homogenitas. Jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 menyebabkan terjadinya penolakan hipotesis karena kedua kelompok penelitian yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi tidak normal dan tidak homogen. Hasil analisis uji normalitas data dan homogenitas data dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Tes Normalitas
Kemampuan Berpikir Kritis
|
Kolmogorov-Smirnova |
||
Statistic |
df |
Sig. |
|
KBK Kelas
Eksperimen |
0,096 |
62 |
0,200 |
KBK Kelas
Kontrol |
0,095 |
62 |
0,078 |
Normalitas
dari skor post test untuk setiap
kelompok dievaluasi menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Pada tabel 1 di atas,
menunjukan bahwa data skor post test untuk
kelas eksperimen dan kelas kontrol pada uji Kolmogorov-Smirnov memiliki nilai
signifikansi lebih besar dari 0,05 (kelas eksperimen = 0,200 dan kelas kontrol
= 0, 078) sehingga data hasil post test kemampuan
berpikir kritis untuk kedua kelompok berasal dari populasi normal.
Tabel 2. Tes Homogenitas Kemampuan Berpikir Kritis
Levene
Statistic |
df1 |
df2 |
Sig. |
0,062 |
1 |
124 |
0,772 |
Uji
homogenitas dari skor post test untuk
setiap kelompok dievaluasi menggunakan uji Levene
Statistic. Pada tabel 2, hasil yang diperoleh menunjukan bahwa data skor post test kemampuan berpikir kritis
untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki nilai signifikansi lebih
besar dari 0,05 sehingga data hasil post
test kemampuan berpikir kritis adalah homogen. Berdasarkan kedua uji
prasyarat yang menghasilkan kesimpulan bahwa data berdistribusi normal dan
homogen maka uji t sampel independen dapat dilakukan.
TEMUAN
Uji t sampel independen bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan antara sampel yang tidak berhubungan. Hasil dari uji t sampel independen dapat diinterpretasi yaitu jika nilai sig (2-tailed) lebih besar dari 0,05 maka tidak terdapat perbedaan antar kelompok, sebaliknya jika nilai sig (2-tailed) kurang dari 0,05 maka terdapat perbedaan antar kelompok.
Pada tabel 3, hasil uji t sampel
independen kemampuan berpikir kritis antara kelas eksperimen yang diberi
perlakuan model pembelajaran berbasis masalah dan kelas kontrol yang diberi
perlakuan model konvensional menunjukan bahwa terdapat perbedaan kemampuan
berpikir kritis antara kedua kelas karena nilai sig (2-tailed) kurang dari
0,05.
Tabel 3. Uji t Sampel Independen Kemampuan Berpikir
Kritis
|
t-test
for Equality of Means |
|||
t |
df |
Sig.
(2-tailed) |
Mean
Difference |
|
Equal
variances assumed |
2,351 |
124 |
,020 |
5,705 |
Equal
varianves not assumed |
2,349 |
122,590 |
,020 |
5,705 |
Skor post test
Kemampuan Berpikir Kritis
Hasil tes kemampuan berpikir kritis
menunjukan siswa di kelas kontrol memiliki nilai rata-rata kritis yang rendah
dengan nilai post test kemampuan
berpikir kritis (M = 31,84, SD =
13,09) dibandingkan kelas eksperimen (M =
37,55, SD = 14,13). Hasil uji t sampel independen menunjukan terdapat perbedaan
antara kedua kelompok penelitian (t = 2,349, p = 0,02). Nilai Cohens’d (d =
0,42) membuktikan bahwa kelas eksperimen yang diberi perlakuan model
pembelajaran berbasis masalah memiliki efek pada keseluruhan kemampuan berpikir
kritis.
DISKUSI
Hasil penelitian menunjukan bahwa siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah melalui studi teoritis dan empiris memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang diajarkan menggunakan model konvensional. Temuan ini konsisten dengan pendapat Chan (2013), Cowden & Santiago (2016) yang pada studi terpisah menemukan bahwa siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan menggunakan model konvensional. Hasil penelitian selanjutnya, mengungkapkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah lebih efektif dalam meningkatkan pemahaman dan penerapan konsep-konsep (Wirkala & Kuhn, 2011; Gunter & Alpat, 2016) dan belajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dapat memotivasi dan meningkatkan hasil belajar, kemandirian penelitian, kemampuan berpikir kritis (Flynn & Biggs, 2012; Jansson et al, 2015). Keefektifan dari model pembelajaran berbasis masalah terletak pada pemberian masalah, kolaboratif antar siswa dan guru sebagai tutor dalam pembelajaran (Gallagher & Gallagher, 2013; Wirkala & Kuhn, 2011). Penelitian yang dilakukan Overton & Randles (2015) menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis masalah dalam ilmu kimia selalu meningkat, karena dalam proses pembelajaran siswa sebagai pusat pembelajaran, bersifat dinamis, dan siswa secara individu merencanakan skenario pemecahan masalah sehingga dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam komunikasi, kerja kelompok dan pemecahan masalah kimia (Mutakinati et al, 2018). Selain itu, penerapan model pembelajaran berbasis masalah juga dapat mengungkapkan potensi akademik siswa (Gallagher & Gallagher, 2013).
Perbedaan
rata-rata kemampuan berpikir kritis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
karena adanya perbedaan perlakuan model pembelajaran. Pada model pembelajaran
berbasis masalah, didasarkan pada kesimpulan bahwa situasi masalah yang
membingungkan akan membangkitkan keingintahuan siswa, sehingga siswa terlibat
dalam penyelidikan (Chua, Tan & Liu, 2014; Wirkala & Kuhn, 2011). Dalam
melakukan penyelidikan, rancangan penelitian juga dirancang sendiri oleh siswa
sehingga proses pembelajaran berpusat pada siswa (Domin, 1999). Pembelajaran
yang dilakukan selama penelitian juga menunjukan bahwa siswa yang berada pada
kelas eksperimen yang diberi perlakuan model pembelajaran berbasis masalah
lebih bertahan daya ingatnya akan materi laju reaksi, karena mereka berinteraksi
langsung dengan perumusan masalah dan solusi dalam memecahkan masalah yang
berkaitan dengan materi laju reaksi. Proses penyelidikan yang berlangsung juga
dapat terlihat bahwa siswa dapat membagi tugas dalam menyelesaikan masalah dan
bertanggung jawab dalam memecahkan masalah.
Peran
guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran harus berjalan secara
optimal dalam merancang dan membimbing siswa mengembangkan setiap kemampuan
yang belum terungkap seperti kemampuan berpikir kritis (Stephenson &
Sadler-McKnight, 2016). Kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk dikuasai
oleh manusia zaman sekarang, karena begitu banyak informasi yang berkembang
tetapi jika tidak memiliki kemampuan kognitif yang memadai maka mereka berada
dalam bahaya karena tidak mengerti akan jawaban yang mereka miliki dalam
memaknai akan informasi tersebut (Halpern, 1998). Pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah yang buruk, penyalahgunaan sumber daya, dan tidak adanya arah
kebijakan yang berkelanjutan adalah konsekuensi buruk yang harus diterima jika
dalam pembelajaran tidak diterapkan kemampuan berpikir kritis (Stephenson &
Sadler-McKnight, 2016). Oleh karena itu, dengan didukung penerapan model
pembelajaran berbasis masalah yang mengungkap berbagai solusi dalam memecahkan masalah
kehidupan nyata, membuat pembelajar kritis tidak perlu takut menghadapi
tantangan dunia yang sangat dinamis dan kompleks. Model pembelajaran berbasis
masalah juga dapat membantu siswa agar mampu bekerja sama dengan temannya,
dalam mencari solusi. Kemampuan agar dapat bekerja sama juga saat ini sangat
diperlukan dalam dunia kerja, sehingga melihat akan pentingnya model
pembelajaran berbasis masalah ini dalam mengungkap akan kemampuan kognitif
siswa serta kemampuan kolaboratif, maka sudah seharusnya, model pembelajaran
berbasis masalah dimasukkan sebagai model pembelajaran yang harus diterapkan
dalam proses pembelajaran.
KESIMPULAN
Model pembelajaran berbasis masalah (PBL) melalui tinjauan empiris dan teoritis menunjukan hasil positif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dibandingkan dengan penerapan model konvensional. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti merekomendasikan agar para pengajar menerapkan model pembelajaran berbasis masalah dalam rencana pembelajaran yang hendak dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan dan mengungkap kemampuan akademik yang dimiliki siswa. Model pembelajaran berbasis masalah juga dapat membantu siswa dalam menyimpan akan informasi yang mereka peroleh, karena siswa berinteraksi secara langsung dengan masalah sehingga menjadi bagian dalam memori jangka panjang mereka. Penelitian selanjutnya diharapkan agar dapat mengungkapkan kemampuan tingkat tinggi lainnya yang sangat dibutuhkan dunia modern saat ini dalam menjawab setiap tantangan perubahan zaman yang sangat dinamis dan kompleks.
REFERENSI
Anderson,
L. W., & Krathwohl, D. R. (2010). Kerangka
landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan asesmen. (Terjemahan Agung
Prihantoro). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Edisi asli diterbitkan tahun 2001
oleh David McKay Company, Inc).
Arends,
R. I. (2011). Learning to teach,
(9th.ed). Connect Learn Succeed, McGrawHill.
Becerra-Labra,
C., Gras-Marti, A., & Torregrosa, J. M. (2012). Effects of a problem-based
structure of physics contents on conceptual learning and the ability to solve
problems. International Journal of
Science Education, 34(8), 1235-1253.
Bolhassan,
N., Taha, H. (2017). TGT for chemistry learning to enhance students’
achievement and critical thinking skills. AIP
Conference Proceedings 1847, 050002-1-050002-6.
Chan,
Z. CY. (2013). Exploring creativity and critical thinking in traditional and
innovative problem-based learning groups. Journal
of Clinical Nursing, 22(15-16),
2298-2307.
Chartrand,
J. (2010). My thinking styles:
development report [measurement instrument]. San Antonio, TX: Pearson
Education. Retrieved for http://www.thinkwatson.com/mythinkingstyles.
Chua,
B. L., Tan, O. S., & Liu, W. C. (2014). Journey into the problem-solving
process: cognitive functions in a PBL environment. Innovations in Education and Teaching International, 53(2),
191-202.
Cowden,
C. D., & Santiago, M. F. (2016). Interdisciplinary explorations: promoting
critical thinking via problem-based learning in an advanced biochemistry class.
Journal of Chemical Education, 93(3),
464-469.
Creswell,
J. W. (2013). Research Design: Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (3rd.ed). (Terjemahan Achmad Fawaid).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Edisi asli diterbitkan tahun 2009 oleh SAGE
Publications).
Domin,
D. S. (1999). A review of laboratory instruction styles. Journal of Chemical Education, 76(4), 543-547.
Downing,
K., Kwong, T., Chan, S-W., Lam, T-F., & Downing, W-K. (2008). Problem-based
learning and the development of metacognition. Higher Education, 57, 609-621.
Duch,
B. J., Groh, S. E., & Allen, D. E. (2001). Problem-based learning: a practical “how to” for teaching undergraduate
courses in any discipline. Sterling: Stylus Publishing, LLC.
Ennis,
R. H. (2016). Critical thinking across the curriculum: a vision. Topoi, 37(1), 165-184.
Fisher,
A. (2009). Berpikir Kritis: sebuah
pengantar. (Terjemahan Benyamin Hadinata). Jakarta: Penerbit Erlangga.
(Edisi asli diterbitkan tahun 2007 oleh Cambridge University Press).
Flynn,
B. A., Biggs, R. (2012). The development and implementation of a problem-based
learning format in a fourth-year undergraduate synthetic organic and medicinal
chemistry laboratory course. Journal of
Chemical Education, 89(1), 52-57.
Gallagher,
S. A., & Gallagher, J. J. (2013). Using problem-based learning to explore
unseen academic potential. Interdisciplinary
Journal of Problem-Based Learning, 7(1), 111-131.
Gedik,
H. (2013). Social studies teacher candidates’ critical thinking skills. Procedia-Social Behavioral Sciences,
93(2013), 1020-1024.
Gunter,
A., & Alpat, S. K. (2016). The effects of problem-based learning (PBL) on
the academic achievement of students studying ‘Electrochemistry’. Chemistry Education Research and Practice,
1(3), 1-19.
Halpern,
D. F. (1998). Teaching critical thinking for transfer across domains:
dispositions, skills, structure training, and metacognitive monitoring. American Psychologist, 53(4), 449-455.
Jansson,
S., Soderstrom, H., Andersson, P. L., & Nording, M. L. (2015).
Implementation of problem-based learning in environmental chemistry. Journal of Chemical Education, 92(12),
2080-2086.
Kishbaugh,
T. L. S., Cessna, S., Horst, J., Leaman, L., Flanagan, T., Neufeld, D. G., et al. (2012). Measuring beyond content:
a rubric bank for assessing skills in authentic research assignments in the
sciences. Chemistry Education and
Research Education, 2012(13), 268-276.
Leary,
H., Walker, A., Shelton, B. E., & Fitt, M. H. (2013). Exploring the
relationships between tutor background, tutor training, and student learning: a
problem-based learning meta-analysis. Interdisciplinary
Journal of Problem-Based Learning, 7(1), 40-66.
Mabruroh,
F., & Suhandi, A. (2017). Construction of critical thinking skills test
instrument related the concept on sound wave. Journal of Physics: Conference Series 812 012056, 1-6.
Nariman,
N., & Chrispeels, J. (2015). PBL in the era of reform standards: challenges
and benefits perceived by teachers in one elementary school. Interdisciplinary Journal of Problem-Based
Learning, 10(1), 1-16.
Overton,
T. L., & Randles, C. A. (2015). Beyond problem-based learning: using
dynamic PBL ini chemistry. Chemistry Education
Research and Practice, 16(2), 251-259.
Ozyurt,
Ozcan. (2015). Examining the critical thinking dispositions and the problem
solving skills of computer engineering students. EURASIA Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 11(2),
353-361.
Rodzalan,
S. A., & Saat, M. M. (2015). The perception of critical thinking and
problem solving skill among of malaysian undergraduate students. Procedia-Social Behavioral Sciences,
172(2015), 725-732.
Savery,
J. R. (2006). Overview of problem-based learning: definitions and distinctions.
Interdisciplinary Journal of
Problem-Based Learning, 1(1), 9-20.
Savin-Baden,
M. (2003). Facilitating problem-based
learning illuminating perspectives. SRHE and Open University Press Imprint.
Shishigu,
A., Hailu, A., & Anibo, Z. (2018). Problem-based learning and conceptual
understanding of college female students in physich. EURASIA Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 14(1),
145-154.
Sockalingam,
N., & Schmidt, H. G. (2011). Charateristics of problems for problem-based
learning: the students’ perspective. Interdisciplinary
Journal of Problem-Based Learning, 5(1), 6-33.
Stephenson,
N. S., & Sadler-McKnight, N. P. (2016). Developing critical thinking skills
using the science writing heuristic in the chemistry laboratory. Chemistry Education Research and Practice,
1-3(2016), 1-8.
Stupple,
E. J. N., Maratos, F. A., Elander, J., Hunt, T. E., Cheung, K. Y. F., &
Aubeeluck, A. V. (2017). Development of critical thinking toolkit (CriTT): a
measure of student attitudes and beliefs about critical thinking. Thinking Skills and Creativity, 2017(16),
1-29.
Sugiarti,
T., Kaniawati, I., & Aviyanti, L. (2017). Development of assessment
instrument of critical thinking in physics at senior high school. IOP Conference Series: Journal of Physics:
Conference Series 812, 1-8.
Sumarna,
N., Wahyudin., & Herman, T. (2017). The increase of critical thinking
skills through mathematical investigation approach. IOP Conference Series: Journal of Physics: Conference Series, 812(2017),
1-8.
Tan,
Oon-Seng. (2003). Problem-based learning
innovation: using problems to power learning in the 21st century. GALE
Cengage Learning.
Tosun,
C., & Senocak, E. (2013). The effects of problem-based learning on
metacognitive awareness and attitudes toward chemistry of prospective teachers
with different academic backgrounds. Australian
Journal of Teacher Education, 38(3), 61-73.
Trilling,
B., & Fadel, C. (2009). 21st century
skills learning for life in our times. Jossey-Bass, A Wiley Imprint.
Wang,
M., Wu, B., Kinshuk., Chen, N-S., & Spector, J. M. (2013). Connecting
problem-solving and knowledge-construction processes in a visualization-based
learning environment. Computers and
Education, 68, 293-306.
Wartono,
W., Hudha, M. N., & Batlolona, J. R. (2018). How are the physics critical
thinking skills of the students taught by using inquiry-discovery through
empirical and theoretichal overview?. EURASIA
Journal of Mathematics, Science, and Technology Education, 14(2), 691-697.
Wirkala,
C., & Kuhn, D. (2011). Problem-based learning in K-12 education: it is
effective and how does it achieve its effects?. American Educational Research Journal, 48(5), 1157-1186.