MENEMUKAN ALLAH DALAM JEJAK PENGALAMAN MANUSIA
Oleh : Fransiskus Yafmat
( Staf Pengajar Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti ) Allah adalah misteri. Ia tak terjangkau oleh pandangan dan pikiran manusia. Bentuk wajah Allah tidak diketahui secara pasti. Ketakterjangkauan pandangan dan pikiran manusia melahirkan pertanyaan-pertanyaan gugatan akan eksistensi Allah itu. Barangkali pertanyaan ini lahir tatkala manusia membutuhkan sesuatu dengan bukti fisik untuk berpercaya. Kalau tidak ada bukti fisik berarti tidak percaya dan kalau pun percaya masih ragu-ragu. Pertanyaan yang sering muncul antara lain: apakah Allah itu memang sungguh ada? Seperti apakah bentuk wajah Allah itu? Di manakah Allah itu berdiam atau tinggal? Seorang filsuf seperti Ludwig Feurbach (seorang murid Hegel) mengatakan bahwa Allah itu merupakan proyeksi pikiran manusia ketika dihadapkan pada pengalaman keterbatasan dan kekurangan dirinya. Manusia lalu memikirkan bahwa ada yang lebih berkuasa dan sempurna di luar dirinya yaitu yang Absolut. Pandangan ini tentu merupakan suatu bentuk pertanyaan yang mengingkari eksistensi Allah. Terlebih lagi bahwa manusia ketika berhadapan dengan perkara pelik atau pengalaman yang tidak menyenangkan, manusia lalu menggugat eksistensi Allah. Menggugat eksistensi kemahabaikan Allah dan kemahakuasaan Allah. Kalau Allah itu maha baik; Mengapa ada pengalaman yang tidak dinginkan atau pengalaman buruk seperti ini? Joseph Ratzinger, seorang teolog terkenal yang kemudian menjadi Paus dengan nama Benediktus XVI menyadarkan kita akan eksistensi Allah itu. Bahwa Allah itu ada dan hadir dalam pengalaman hidup manusia. Tulisan kecil ini bermaksud membangkitkan motivasi dan optimisme kita terhadap situasi dunia dan pertanyaan “di manakah Allah”?. Saya ingin menyegarkan keraguan dunia pada eksistensi dan kemahakuasaan Allah berhadapan dengan situasi real dunia yang terkadang melibas iman manusia dengan berasas pada pemikiran Ratzinger dalam ulasannya yang berjudul “Prolegomena to the Subject of God” Allah Menampakkan Diri dalam Pengalaman Hidup Manusia Pengalaman perjumpaan dengan Allah barangkali tidak akan menyata kalau dibayangkan perjumpaan secara fisik. Mustahil dan pasti tidak akan terjadi. Menurut Ratzingrer manusia berjumpa dengan Allah dan Allah menampkan diri dalam tiga hal ini. Pertama. Manusia menyadari eksistensinya dalam pengalaman hidup harian. Manusia menemukan banyak hal yang indah, baik, dan menyenangkan. Pengalaman itu menuntut manusia untuk bersyukur. Pengalaman seperti ini dinamakan pengalaman eksistensi kepenuhan. Berhadapan dengan pengalaman itu manusia menyadari bahwa hal tersebut bukan karena kehebatannya dan kekuatannnya, akan tetapi merupakan berkat penyelenggaraan dari yang Absolut. Di sisi lain manusia menyadari eksistensi Allah itu tatkla mengalami pengalamn keterbatasan dirinya. Bahwa Manusia tidak akan bisa melakukannnya tanpa bantuan sang Ilahi. Manusia membutukan rahmat yamg memberikan kemampuan kepadanya untuk melampaui setiap pengalaman keterbatasannya. Kedua, pengalaman kesepian dan kenyamanan. Pengalaman kesepian dan kenyamanan adalah pengalaman yang pasti dialami setiap manusia. Dua sisi pengalaman itu pasti terjadi dan sulit untuk menghindarinya. Manusia hanya bisa menerimanya. Akan tetapi, menurut Ratzinger pengalaman seperti itu merupakan pengalaman yang membatu manusia untuk menyadari eksistensi Allah mengalami kesatuan dengan-Nya. Dalam Doa Syrukur Agung khususnya dalam bagian pembuka dikatakan kepada umat beriman “marilah kita mengarahkan hati kita kepada Tuhan,” Lalu umat beriman menjawab sudah kami arahkan”. Hal ini mengingatkan kepada kita betapa pun manusia mengalami pengalaman yang menyakitkan, namun tetap melihat campur tangan Allah di dalamnya. Manusia merasakan adanya ikatan persekutuan dengan Allah. Ketiga; Allah menampakkan diri dalam alam ciptaan. Alam ciptaan merupakan karya Allah sendiri. Dalam kitab Kejadian dikisahkan bahwa Allah menciptakan alam semesta selama enam hari dan mendahului penciptaan manusia. Manusia diciptakan setelah semuanya diciptakan. Dalam itinerariumnya, Bonaventura seorang Saudara Dina (OFM) menuturkan bahwa dalam langkah naik menuju Allah, ada tiga tangga yang mebantu manusia untuk sampai pada perjumapaan dengan Allah. Salah satu dari ketiga tangga tersebut, yaitu alam semesta. Keyakinan ini tentu diinspirasi dari orang yang dia kagumi yaitu Fransiskus dari Asisi. Sebagaimana Fransiskus dari Assi menemukan suara Allah dalam suara seekor jangkrik. Hal ini menunjukkan bahwa alam ciptaan merupakan sarana Allah untuk menunjukkana diri-Nya kepada manusia. Alam ciptaan membantu manusia untuk menemukan wajah Allah. Karena dalam alam ciptaan juga Allah hadir. Dengan demikian, alam semesta dengan segala kesatuannya merupakan gambar wajah Allah. Baca Juga : Ketika Pandemi Menggeliat " Lelo Pande Dami " Jangan Meragukan Eksistensi Allah Pandangan Ratzinger tentang eksistensi Allah yang menampakan diri dalam pengalaman manusia, dalam kesadaran mengenai eksistensinya, pengalaman manusia dalam kesepian dan kenyamanan dan juga dalam alam semesta memang benar adanya. Mengapa? Hemat penulis, karena segala sesuatu yang ada di bumi ini tidak mungkin ada begitu saja tanpa ada sesuatu yang menyebakanya terlebih dahulu. Allah adalah penyebab adanya segala yang ada di dunia. “Yang ADA” terlebih dahulu dan menjadi penyebab segala sesuatu adalah Allah Sendiri. Ia memang tidak hadir secara fisik dan tidak menampakan muka-Nya. Akan tetapi, jika manusia menyadari dan menyelami pengalaman dan segala realitas yang ada di luar dirinya, di sanalah Allah bertatap wajah. Memang, seperti yang sudah dituliskan bahwa untuk menampakan diri secara fisik mungkin mustahil. Pemikiran ini bisa diperkuat dengan isi teologi Anselmus (seorang biarawan Benediktin yang lahir di Aosta tahun 1033 dan hingga akhir hidupnya ia menjabat sebagai Uskup Agung Canterbury). Dalam Monologiumnya, Ansemus mencoba menjelaskan eksistensi Tuhan, dalam tiga pendekatan argument ontologisnya. Pertama; Kebaikan sesuatu di dunia ini pasti memiliki sebab. Akan tetapi ketegangannya adalah dua hal ini yaitu apakah dari segala kebaikan itu memiliki banyak sebab atau satu sebab saja. Jika mengatakan satu sebab saja kita memiliki sumber kebaikan yang tunggal dan jika memiliki sebab yang banyak tetap mengarah pada suatu sumber yang tunggal. Fakta ini mengarah pada eksistensi sumber yang utama dari kebaikan itu sendiri. Bagi Anselus sumber kebaikan itu ia namakan Tuhan atau Allah. Tuhan adalah landasan terakhir dari semua yang ada. Kedua, Anselmus memandang segala sesuatu yang ada di dunia ini pada satu ketersebaban. Betapa pun banyak sebab, yang oleh manusia disebut politeisme namun tetap ada sumber yang utama yaitu Yang Absolt. Ketiga; Anselmus memandang semua yang dapat dimengerti di dunia ini bergantung pada suatu realitas yang tertinggi. Realitas yang dari pada-Nya tidak ada lagi yang lebih tinggi. Yang Tertinggi itu bersifat tunggal dan jika kita mengakui itu, kita mengakui adanya Tuhan. Keabsolutan Kuasa Allah, sebuah Optimisme dalam Memerangi Covid 19 Kecemasan soal corona menggelantung kulit di kepala. Sementara jauh di lubuk hati, kita selalu bertanya; apakah saya aman, dan itu berkali-kali muncul. Ada optimisme bahwa pandemi ini akan segera berkesudahan tetapi tidak lalu dengan mudah mengusir rasa cemas. Sikap-sikap semacam ini khususnya pada masa pandemi menjadi sikap yang lumrah berdengung dalam hati dan aksi umat manusia. Tidak jarang, kita meragukan kekuasaaan Allah untuk menghalau badai global tersebut. Keraguan akan eksistensi Allah dengan sebuah tuntutan fisik adalah sebuah kekeliruan besar. Keraguan yang berujung pada tidak percaya adalah sebuah dosa besar. Karena sebenarnya percaya dengan dalil suatu tuntutan fisik tidaklah rasional. Segala sesuatu tak harus dibuktikan secara fisik namun tetap ada. Allah adalah ADA yang tidak diadakan dan keberadaan-Nya melampaui ruang serta waktu. Dia hadir dalam pengalman dan sejarah hidup manusia. Dia adalah penyebab adanya segala yang ada di bumi ini. Dia transenden sekaligus imanen; tetapi juga independent. Keberadaan Allah ada sesuatu yang absolut. Umat manusia sebenarnya tidak perlu ada ragu akan eksistensi Allah dan juga akan eksistensi dari sifat-sifat Allah yaitu yang Maha kuasa dan Maha baik. Karena Sekali pun Allah Maha Baik dan Maha Kuasa, pada manusia diberiNya kebebasan. Kebebasan itulah yang membuktikan salah satu kebaikan Allah terhadap manusia. Allah bisa saja mendatangkan hal yang baik kepada manusia. Akan tetapi, bersediakah manusia memilih tawaran kebaikan Allah? Atau manusia lebih memilih hasrat manusiawinya dan menghindar dari tawaran Allah? Ulasan pemikiran para Teolog di atas kiranya menjadi inspirasi bagi kita untuk tidak lalu cerewet dengan kebaikan Allah khususnya di masa pandemi Covid 19 seperti ini. Yakinlah, bahwa Allah selalu mempunyai tujuan yang mulia bahkan melalui cara-cara yang terkdang menantang ketenangan manusia.