
YESUS DAN KEPEMIMPINANNYA
(Perspektif
Biblis dan Teologis)
Pada
mulanya, tak seorang pun berupaya menaati panggilan Allah sebagai hamba yang
memiliki ide besar dan glamor tentang kesuksesan yang didorong oleh ego dan
rasa lapar akan sorotan di pusat panggung. Panggilan Allah tersebut terlalu
kudus, luhur, mengintimidasi, memilukan hati, bahkan terlalu menakutkan.
Guru
besar yang berjalan, berjalan-jalan,
mengembara; siapakah Dia? Rabi yang rajin berkeliling, yang kehidupannya
berubah menjadi sejumlah pelajaran kehidupan, dan yang jalan-jalannya berubah
menjadi ledakan kebenaran yang mentransformasikan; siapakah Dia? Siapakah Dia,
Tukang cerita yang begitu terampil berkomunikasi sehingga sejumlah alat bantu
presentasi pangung-Nya seolah-olah muncul secara ajaib pada momen maksimal
hanya untuk memperjelas maksud-Nya? Siapakah pribadi bertopeng itu?
Apa
arti bagi Yesus yang berjalan di antara para sahabat-Nya, melakukan kehendak
Bapa, yang selalu bersedia serta siap bertanya jawab tentang sejumlah
pertanyaaan, menggali berbagai ide, interaksi dan mukjizat yang konstan, tanda,
keajaiban dan kesembuhan?
Teringat
akan seorang sahabat yang pernah berkata kepada saya,”Sobat, apakah kamu
benar-benar mau menerapkan apa yang Yesus telah lakukan?”. Pilihan selusin
orang, hiduplah bersama mereka hari demi hari, curahkan kehidupanmu kepada
mereka dan lihatlah hal yang dihasilkan dari eksperimen itu.”
Yesus, “Manusia Domba”
Konteks
kebudayaan dari sejumlah metafora agraris tentang gaya kepemimpinan Yesus
dimaksudkan untuk memengaruhi dan mengajar kita. Semua itu dimaksudkan untuk
mendorong kita merangkul teladan “Yesus Timur Tengah” zaman dulu, Gembala yang
baik, Gembala Agung. Berbagai analogi kerajaan dan gaya hidup-Nya yang mencolok
dimaksudkan untuk memberikan lebih dari sekadar pola atau kerangka yang kaku.
Namun, di balik semuanya terselubung maksud dan hadiah kepemimpinan yang
menjadi milik kita turun-temurun.
“Sesungguhnya anak dara itu akan
mengandung da melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia
Imanue, yang berarti Allah beserta kita” (Mat, 1:23).
Allah menyertai kita, Allah di antara
kita, Allah di dekat kita, Allah yang dapat kita jamah.Allah yang dapat diraba,
Allah yang memiliki tekstur dan daging. Demikianlah keadaan permulaan dan
pelayana-Nya di bumi dan bila kita berani mengikuti Dia, inilah keadaan kita
yang seharusnya bagi orang lain. Model perwujudan inilah yang memisahkan
pelayanan Yesus dari hierarki, jarak, pengendalian, manipulasi dan pemaksaan.
Bagaimana pun, inti dari penggembalaan
alkitabiah tampaknya terpelintir dengan kita melalui semua ide untuk menggirng
kawanan domba. Walaupun penggembalaan adalah perihal kepedulian, bagi kita hal
ini menjadi tantangan untuk menggiring. Walaupun penggembalaan adalah perihal
menangani domba secara individual, bagi kita hal ini selalu berubah menjadi
menggiring ternak atau kawanan domba secara besar-besaran.
Yesus telah menularkan kepada kita model
dan gambaran tentang gembala oriental, yang lebih tepat disebut “manusia
domba”. Dia berjalan di antara kawanan domba-Nya, dengan gambaran klasik berupa
anak domba yang hilang di atas bahu-Nya, pada waktu malam tidur bersama kawanan
domba-Nya, dan sepanjang hari berinteraksi dengan para gembala lain yang
memelihara kawanan domba mereka, serta sabar memimpin mereka ke padan rumput
yang baik dan aman.
Gembala
Bukanlah Orang Upahan
Gembala
sejati tidak seperti orang upahan yang bereaksi secara berlebihan terhadap
ketakutan demi pemeliharaan diri, yang konsentrasinya mudah terganggu oleh
berbagai suara dan aroma musush kawanan dombanya, yaitu para pemangsa kawanan
dombanya. Bila koboi didorong oleh narsisme untuk memimpin, orang upahan cenderung
akan dikendalikan oleh ketakutan mereka sendiri. Ia terlalu mudah terkejut dan
tercerai-berai serta terlalu cepat mengubah arah di pertengahan jalan karena
sejumlah agenda mereka sendiri.
Orang
upahan adalah pemburu, menjual panggilan kepemimpinan dengan membahayakan keamanan
kawanan dombanya karena emosi sesaat, dan bukan mengorbankan nyawanya bagi
kawanan dombanya.
Jubah gembala sejati berbau domba,
sepatu berlumuran kotoran domba. Gaya hidupnya diukur berapa lama ia melayani
dan memelihara. Ia berjalan di antara kawanan dombanya sehingga mereka merasa
aman. Ia berbaring di samping kawanan dombanya pada waktu malam sehingga mereka
bisa tidur nyenyak. Bahkan, ia mengeluarkan suara-suara pada waktu malam, yang
meredakan ketakutan mereka dan menutupi suara pemburu. Ia sering menjamah,
menepuk-nepuk, mencurahkan minyak ke luka, merangkul mereka. Ia menghitung
mereka secara konsisten; bukan untuk sesumbar, melainkan untuk memastikan bahwa
semua mereka aman. Sepanjang perjalanan,
mereka mempelajari suara, nada bicara, jalan-jalan, dan belajar bersandar
kepadanya, sementara kepercayaan mereka bertumbuh ketika ia melayani.
Egosentrik
Kecenderungan
alamiah dan universal selalu menjadi topeng bagi pemimpin untuk memprioritaskan
kepentingan pribadi daripada kepentingan umum (bonum comune). Roh
kepemimpinan telah dinodai oleh virus zaman yang berpusat pada diri sendiri dan
egosentrik. Pada tataran ini, pemimpin selalu memposisikan diri pada titik
sentral dan sumber kebenaran yang sifatnya mutlak dan dogmatis (tak
tergoyahkan). Bertolak dari mindset ini, kepemimpina sering diburu dan penempatan status serta
hasil mejadi primo gol. Sementara itu, otoritas dan pengurapan Allah
untuk melepaskan orang lain melalui pelayanan kita serta gaya memimpin yang
peka terhadap impian sering dijadikan sebagai label yang mengatasnamakan
pelayanan.
Baca Juga : Makna hidup manusia menurut Aristoteles dan Viktor Frankl
Mengikuti
Pimpinan Yesus
Mendalami
Yesus yang “berjalan dalam wujud Manusia” berarti mendengrkan sejumlah
keberatan dari kebudayaan-Nya ketika dia muncul pada awal usia tiga puluhan.
Bila paduan suara malaikat mungkin telah menyanyikan suara tunggal-Nya sebagai
perkenalan-Nya, sisa kisah-Nya bukanlah kontes popularitas dan cenderung ke
arah yang tidak dikenal, ditolak dan dikhianati.
Bila
gaya kepemimpinan Yesus ingin ditiru, maka langkah awal yang perlu diambil
adalah sikap rendah hari dari seorang yang terlupakan, ditolak, disepelekan
bahkan menjadi lebih diredahkan lagi karena kehormatan pangilan untuk menjadi
“manusia domba” di antara kawanan domba Allah.
Roh
Kepemimpinan Manusia
Kepemimpinan
manusia haruslah tidak kelihatan dan lebih dari sekadar pengaruh yang sakral.
Dunia membutuhkan pembicara yang diinspirasi dan banyak pendengar yang
diinspirasi, serta beberapa guru dan banyak ayah. Bahkan Gereja misalnya,
bukanlah sejumlah pertemuan lagi, melainkan situasi yang mengutamakan hubungan
kedekatan para pemimpin dari satu generasi, yang menyelaraskan kembali dengan
generasi berikutnya.
Sementara kepemimpinan adalah
penempatan strategis dari Allah, kepemiminan harus datang dari tempat
baru tempat baru untuk memimpin, hidup, belajar dan mengikut. Hal ini
bukanlah upaya buruk untuk mendefinisikan ulang kepemimpinan, malainkan
undangan baru bagi para pemimpin dan para calon pemimpin untuk keluar dari balik rangkaian penghalang
yang menyembunyikan mereka dan bahkan menjaga jarak aman tetapi semu bagi
mereka serta belajar berjalan berdampingan dengan orang-orang yang mereka
pimpin dalam kemitraan melalui proses penemuan yang mengubahkan pemimpin dan
orang yang dipimpin. Hal ini adalah proses belajar memimpin dengan belajar
bersama, tertawa bersama, berjalan bersama dan bahkan mengikut.
Dionisius Bandut, S.Fil