-800x457.jpg)
GURU: PERTARUNGAN ANTARA PENGABDIAN DAN NASIB
(Fransiskus Yafmat)
Pengantar
Guru merupakan sebuah pekerjaan yang melebihi profesi.
Guru adalah sebuah pengabdian tak kenal lelah. Semua manusia menjadi sungguh
manusia dan semakin manusiawi tak lepas dari peran seorang guru. Tidak
mengherankan jika guru termasuk salah satu fundator kemajuan bangsa. Guru juga
selalu memiliki pengabdian yang lebih. Akan tetapi, nasib guru masih sangat
jauh dari sebuah kata layak. Tidak sedikit guru di berbagai penjuru republik
ini mengeluhkan nasib mereka yang tidak sebanding dengan pengabdian. Padahal,
tombak sebuah keberhasilan akan terwujudnya cita-cita mencerdaskan dan
mensejahterakan bangsa amat bergantung pada guru. Saya terkesan dan terpanggil
untuk menuangkan permenungan seputar peran dan nasib guru yang bermandikan
kapur setiap harinya.
Guru: Pertarungan Antara Pengabdian dan Nasib
Membicarakan guru agaknya amat liar jika dipisahkan
dari sebuah lembaga mulia yang bernama “sekolah”. Maka amat luhur adanya jika
sekolah juga menjadi sebuah locus
pembahasan, sebab guru, siswa, dan sekolah merupakan satu kesatuan yang
integral. Sekolah merupakan sebuah komunitas pendidikan diterapkan. Sekolah
selalu berjuang melahirkan manusia yang berakhlak mulia, bijaksana, dan cerdas
serta dewasa. Sebaliknya,
sekolah pada kodratnya berusaha menolak pendangakalan. Pada prosesnya, ada
memang ketidak-sempurnaan
terjadi di sana-sini. Tetapi melalui sekolah, setiap anak didik diajarkan
untuk kelak menyadari tanda-tanda pendangkalan dalam kemanusiaan dan peradaban
kita. Setidaknya dari pengalaman pribadi, saya adalah anak sekolah yang
menikmati dinamika pendidikan dari beragam
kurikulum, seperti KBK, KTSP, hingga K13.
Pergantian itu tidak terlalu
membuat saya bingung dan gamang. Saya
selalu tetap menemukan
makna belajar di sekolah.
Pergantian
kurikulum agaknya tidak memberikan kesulitan bagi saya sebagai siswa. Namun,
ketika menjadi guru pergantian kurikulum menjadi sesuatu yang sangat
merepotkan. Guru harus berjuang mengkondisikan metode pengajarannya dengan
tuntutan kurikulum. Belum lagi, ada kurikulum (K13) yang dalam pembacaan saya
digunakan tanpa kompromi. Setidaknya, para guru dipersiapkan terlebih dahulu
sebelum kurikulum tersebut diterapkan. Kenyataan ini lantas cukup membingungkan
para guru meskipun dalam prosesnya mereka juga terbiasa dengan kurikulum
tersebut. Begitulah jika kita dipanggil untuk mengabdi pada bangsa sebagai
seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang di sisi lain jasa-jasanya diabaikan.
Pergantian kurikulum dan tuntutan administrasi lain-lain dalam sekolah kiranya
tidak menjadi factor penentu keberhasilan siswa. Guru
itulah revolusioner bagi mentalitas anak-anak didiknya. Dan murid, ketika besar
baru ingat jasa-jasa gurunya yang sewaktu masa sekolah menjadikannya bahan
gosip dan kebencian. Padahal hampir
semua manusia sukses karena ditempah oleh seorang guru. Guru adalah lading
penghasil panen yang berlimpah ruah.
Baca Juga : Cerdas Berdigital Di Era Disrupsi
Seorang pengusaha muda di Manggarai bercerita, beliau selalu cekatan dan siap
siaga dalam bertugas. Sikap ini
terbentuk karena dulu sudah terbiasa dengan ujian mencongak yang datang
tiba-tiba dari guru SD-nya. Pada cerita
lain, Ir. Budiman menjadi pimpinan yang perhatian dengan nasib buruhnya, karena
bayang-bayang kisah guru SMP-nya yang sekalipun hidup pas-pasan tetap setia
sampai ajal, mengajar dan mendampingi anak didiknya sampai malam hari.
Marlina, setia mendampingi
anak-anak di perkampungan kumuh nan kriminal karena terinspirasi guru seninya
di SMA yang selalu memutar otak untuk mengorganisir anak-anak bengal di sekolah
menjadi sebuah kelompok teater yang
tersohor. Seorang petani bernama Maksi di sebuah desa kini menjadi seorang yang
sangat sukses karena nasehat emas gurunya di SMK; “sekurang-kurangnya kalau
nilaimu tidak bagus, olahlah tanah dengan serius dan tanggung jawab”.
Dahulu jumlah lulusan sarjana
pendidikan amat sedikit. Orang yang
mau menjadi guru juga sedikit. Ekonomi mereka juga pas-pasan. Dewasa ini, jumlah pendidikan guru
melesat jauh. Orang yang
menjadi guru juga semakin banyak, tetapi hidup mereka tetap pas-pasan saja. Mereka
mempunyai istri dan anak-anak. Banyak biaya yang diperlukan untuk membangun rumah
tangga. Ada memang sekolah dan yayasan tertentu yang menggaji
rekan karyanya (guru) secara pantas. Namun, tidak sedikit sekolah yang menggaji
guru-gurunya secara tidak wajar, seperti gaji
yang rendah dan kurang dari UMR.
Belum lagi sebagian dari hak mereka dirampas kelompok elit tertentu, di sekolah atau pun di lembaga pemerintahan.
Hal ini jauh lebih malang dari guru
yang digaji lima ratus ribu rupiah (500.000)/bulan. Mengapa lebih malang? Ya, karena jelas-jelas hak dan
keringat mereka dirampas habis-habisan oleh tuan-tuan aktor diktator yang rakus
dan tidak berbelas kasih.
Pada
kenyataan lain, ada guru-guru yang mengalmi ketersendatan dalam menerima gaji.
Lalu, bagaimana mereka berjuang untuk survive
dengan hidup? Haruskah nasib guru sekejam ini? Adilkah republik ini terhadap
nasib para pahlawan kecerdasan bangsa? Biarkan pertanyaan ini tetap menggantung,
dan direnungkan sendiri oleh para guru dan pembaca yang budiman. Hari-hari ini
banyak guru dari daerah dan kota yang hiruk pikuk mengurus administrasi pada
dinas terkait demi sebuah tunjangan yang juga pas-pasan atau mungkin juga
irasional, seperti berjuang dalam program P3K, PPG, dan sebagainya. Mereka
terpaksa menitipkan materinya untuk anak didik pada guru yang lain. Pengejaran
nasib bagi mereka tidak lalu mengorbankan anak didiknya di sekolah. Mereka
selalu memikirkan anak-anak yang siap menerima pengajaran luhur mereka.
Indonesia ini adalah negara yang memiliki lembaga
pendidikan teramat banyak. Semuanya itu demi menelurkan penghuni bangsa yang
sungguh dan lebih manusiawi. Sementara sekolah bertumbuh seperti jamur, gaji guru pun tidak merata tersebar
seperti jamur pula. Tidak mengherankan jika
mereka
terpaksa mengalihkan waktu untuk menghidupi keluarga dengan pekerjaan sambilan.
Ada yang mencari pakan ternak, ojek, dan berkebun sepulang sekolah. Ada yang mencari peruntungan di
kupon putih,
ada yang menjadi jurkam di masa-masa kampanye politik, dan sebagainya. Melongo pada relitas ini, terlalu
dangkal rasanya menuntut dedikasi di saat nasib mereka sedang tidak baik-baik
saja.
Kalau memungkinkan, ini hanya impian
pribadi saya; sebaiknya tidak perlu membangun sekolah banyak-banyak, kecuali di
tempat terisolir yang sungguh membutuhkan,
daripada tidak siap untuk menggaji guru. Lebih baik,
kampus-kampus pendidikan guru menjalankan seleksi ketat penerimaan
mahasiswanya. Standar kompetensi dalam proses pendidikan guru dinaikan
levelnya. Biarkan pemuda-pemudi bebrpikir dua kali kalau masuk fakultas
tersebut. Lulusan menjadi guru akan kembali bergengsi.
Baca Juga : SMK Aloisius Bangun Kerjasama Dengan Kabupaten Manggarai
Lagipula lebih baik menuntut keras
sejak awal daripada ketika menjadi guru, baru dibebani tugas-tugas administratif
di sana-sini. Seorang anak tidak mungkin disuruh lari maraton, sementara
sebelumnya seharian disuruh santai bermain ludo. Karena lulusan guru menjadi tidak kalah
bergengsi dari lulusan lainnya, maka perjuangan mereka patut diapresiasi secara
konkrit dengan gaji yang pantas. Hidup akan terjamin, sekalipun proses untuk
menjadi guru bukan lagi hanya mau bergulat
menyusun
skripsi asal-asalan. Gaji diberikan secara pantas dan pada saat yang sama
dedikasi tidak bisa ditawar-tawar.
Pendidikan akan jauh lebih bermutu jika pemerataan dan keadilan, kepantasan dan
kewajaran juga dialami oleh tokoh pendidik dan kependidikan
Namun, karena sekedar impian, kala pun belum menjadi
kenyataan, menjadi guru
itu tidak seperti pejabat yang didandani pakaian dinas kebesaran. Tetapi, dari api perubahan yang
dinyalakannya di setiap nalar dan mental anak didiknya. Seorang agamawan bisa
berkotbah berjam-jam di atas mimbar. Namun perubahan semakin baik pada
orang-orang dewasa, layaknya besi dingin, tidak terlalu bisa diharapkan. Namun,
guru berjam-jam memantik pikiran kritis dan menempa anak didik, layaknya besi
menyala, akan menghasilkan manusia-manusia tajam-ampuh di masa depan.
Para politikus berkobar-kobar saat
berkampanye untuk memjukan suatu daerah. Namun, janji akan tetap didiskusikan
kembali dalam rapat-rapat tertutup demi elektabilitas. Namun, pengetahuan
yang dihamparkan para guru, mengenal diskusi, tetapi dengan gagah akan
mengatakan ini benar sebagai benar, ini indah sebagai indah, dan ini baik
karena memang baik. Melihat kenyataan
akan nasib dan pengabdian guru, rasa-rasanya republik ini masih perlu
mempertimbangakan kembali tentang keseriusan memperistiwakan undang-undang
kecerdasan hidup berbangsa. Gagasan dan cita-cita tersebut akan sangat dan
lebih cepat serta tepat disingkapkan jika nasib semua tokoh terkait di dalamnya
berimbang dengan pengabdiannya.
Penutup
Guru merupakan sebuah profesi yang melebihi profesi. Dia lebih pantas berada di luar dan di atas dari sekedar sebuah profesi. Guru amat pantas berada dalam bingkai mulia bernama pengabdian. Mengapa demikian? Karena de facto, guru hingga saat ini hanya bertaruh pada pengabdian dan dihantui nasib yang selalu diperjuangkan. Melihat hal ini, tidak real jadinya menuntut dedikasi tinggi sementara nasib mereka sedang tidak baik-baik saja. Menjadi guru merupakan sebuah kebanggaan tiada taranya, sebab darinya lahirlah kecerdasan. Pengetahuan yang dihamparkan para guru, mengenal diskusi, tetapi dengan gagah akan mengatakan ini benar sebagai benar, ini indah sebagai indah, dan ini baik karena memang baik