Menumbuhkan Kepercayaan Diri Lewat Drama
Panggung dan Bicara:
Menumbuhkan Kepercayaan Diri Lewat Drama
“Orang-orang di Tikungan Jalan”
Oleh : Silvester Armin Baeng, S. Pd, Gr
(Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMK
St. Aloisius)
SMK St. Aloisius yang terletak di jantung
kota Ruteng, hadir sebagai sekolah kejuruan unggulan yang mencetak generasi
muda terampil dan kreatif. Sekolah ini memiliki empat jurusan andalan: Teknik Kendaraan
Ringan Otomotif (TKRO), Teknik Pengelasan (TP), Teknik Sepeda Motor (TSM), dan
Desain Komunikasi Visual (DKV). Melalui kombinasi antara pembelajaran praktik
dan teori, para siswa dibimbing untuk menguasai keahlian sesuai bidangnya. Di
bengkel, studio, dan ruang praktik, siswa belajar bukan hanya untuk memahami
tetapi untuk mencipta dan berinovasi. Siswa-siswa di sekolah ini dipersiapkan
agar bisa terlahir calon profesional yang akan bersaing bagi dunia industri
maupun kreatif.
Menjadi bagian dari siswa jurusan Desain
Komunikasi Visual (DKV) SMK St. Aloisius, siswa percaya bahwa setiap ide bisa
mengubah cara orang berpikir, setiap warna punya makna, dan setiap garis punya
cerita. Di dunia yang penuh tantangan, siswa belajar bagaimana menyampaikan
pesan secara visual dengan cepat, kuat, dan membekas. Mulai dari tipografi
hingga animasi, dari ilustrasi hingga branding, siswa menjelajahi cara-cara
kreatif untuk membuat komunikasi jadi lebih dari sekadar kata-kata, karena di
DKV, bukan hanya tentang seni—ini tentang strategi, empati, dan menciptakan
dampak visual yang berbicara.
Meskipun siswa kelas XI DKV SMK St.
Aloisius dilatih untuk menyampaikan pesan lewat visual, tetapi dunia nyata
menuntut lebih dari sekadar karya yang keren, siswa juga harus bisa menjelaskan
ide, meyakinkan klien, dan berdiskusi dengan tim lintas bidang. Kemampuan
berbicara bukan pelengkap, tapi senjata utama, sebab desain yang kuat dimulai
dari komunikasi yang jelas. Saat presentasi konsep, pitching proyek, atau
sekadar brainstorming, cara siswa menyampaikan ide bisa menentukan apakah
desainnya diterima atau hanya jadi arsip di folder laptop. Desain Komunikasi
Visual bukan hanya soal menggambar, tapi juga soal memperjuangkan ide. Dan
untuk itu, bisa bicara dengan percaya diri, dengan logika, dan tentu, dengan passion.
Sebanyak 32 siswa kelas XI DKV SMK St. Aloisius hebat menciptakan karya visual yang memukau. Ide brilian, eksekusi matang, estetika luar biasa. Tapi ketika diminta menjelaskan konsepnya di depan orang lain, hanya 2 siswa yang bagus mempresentasikan karya, 10 siswa langsung gugup, 8 siswa patah-patah, dan sebanyak 12 bahkan hilang arah. Ini persoalan nyata: public speaking sering jadi titik lemah anak kelas XI jurusan Desain Komunikasi Visual SMK St. Aloisius.
Sehebat apa pun desain anak kelas XI DKV
SMK St. Aloisius, jika tidak bisa dijelaskan dengan meyakinkan, nilainya bisa
jatuh di mata guru, publik, atau klien. Presentasi adalah momen penting—bukan
cuma untuk menunjukkan karya, tetapi juga untuk menunjukkan cara berpikir di
balik karya itu.
Sayangnya, sebanyak 18 siswa kelas XI DKV
SMK St. Aloisius yang merasa “aku introvert”, “aku desainer, bukan pembicara”,
atau “biar desainku yang bicara”. Padahal kenyataannya: klien tidak membaca
desain—mereka mendengarkan penjelasan. Public speaking bukan bakat, tetapi
keterampilan. Dan di dunia kreatif, keterampilan ini adalah pembeda antara
desainer yang didengar dan yang diabaikan.
Beberapa kendala yang menjadi penyebab
rendahnya keterampilan berbicara siswa kelas XI DKV SMK St. Aloisius akan
penulis paparkan sebagai berikut;
Pertama, siswa Desain Komunikasi Visual SMK
St. Aloisius terlalu fokus pada visual, bukan verbal. Kebiasaan berpikir dalam
bentuk visual- berupa warna, bentuk, layout, dan komposisi membuat siswa
(terbiasa) untuk "berkomunikasi lewat gambar". Akibatnya, aspek
bahasa verbal seperti berbicara atau presentasi kadang dianggap sebagai
pelengkap atau bahkan tidak terlalu dibutuhkan.
Kedua, anggapan bahwa anak visual adalah
pribadi yang introvert. Streotip bahwa orang yang kreatif atau visual adalah
pribadi yang pendiam, tertutup, dan kurang suka tampil di khalayak. Anggapan
tersebut membuat siswa (seperti) membatasi diri.
Ketiga, kurangnya latihan public speaking
di kurikulum. Menengok kurikulum Desain Komunikasi Visual yang lebih menekankan
pada keterampilan teknis, seperti: software, ilustrasi, tipografi, dan lain
sebagainya. Sementara soft skill mereka, seperti: presentasi, komunikasi
interpersonal, atau pitching tidak selalu mendapatkan porsi yang cukup besar,
padahal itu sangatlah dibutuhkan dalam dunia kerja nyata.
Keempat, takut akan kegagalan masih sangat tinggi. Siswa merasa takut ide mereka ditolak atau tidak dimengerti oleh pendengar. Ketakutan ini membuat siswa memilih diam atau berbicara tidak dengan jelas. Para siswa lupa, bahwa dengan berbicara, bisa mengarahkan cara orang memahami karya-karyanya.
Bermain drama dapat meningkatkan keterampilan berbicara. Selain menjadi hiburan, drama juga berfungsi sebagai media pendidikan dan refleksi sosial. Melalui latihan dialog, kerja sama antar pemain, serta keberanian tampil di depan umum, seseorang belajar menyampaikan pesan dengan jelas, ekspresif, dan penuh makna
Drama adalah bentuk seni pertunjukan yang
menggabungkan dialog, ekspresi, dan gerak untuk menyampaikan cerita atau pesan
kepada penonton. Melalui peran yang dimainkan para aktor, drama mengahadirkan
konflik, emosi, serta nilai-nilai kehidupan yang dapat menggugah perasaan dan
pemikiran.
"Orang-Orang di Tikungan Jalan"
adalah sebuah naskah drama karya sastrawan Indonesia W.S. Rendra
yang menggambarkan interaksi dan percakapan antara berbagai karakter di
sebuah tikungan jalan pada malam hari. Naskah ini mengeksplorasi tema-tema
seperti kehidupan, cinta, dan kesedihan melalui dialog yang mencerminkan
realitas sosial yang kompleks dan kehidupan sehari-hari.
Dalam prosesnya, para siswa kelas XI DKV akan
menerapkan beberapa langkah berikut;
Pertama, siswa akan dibagi dalam kelompok. Jumlah
siswa kelas XI DKV adalah sebanyak 32 orang, setiap siswa akan membentuk 4
kelompok yang terdiri dari 8 siswa. Dalam kelompok ini siswa mendapatkan
perannya masing-masing, selanjutnya berlatih memerankan tokoh dalam drama
“Orang-orang di Tikungan Jalan” karya W. S. Rendra.
Kedua, siswa Desain Komunikasi Visual belajar
bekerja sama, menghayati karakter, dan melatih kemampuan berbicara secara
ekspresif. Para siswa, melatih pengucapan dan intonasi. Saat memerankan tokoh,
siswa belajar mengucapkan kata dengan jelas, menggunakan intonasi yang tepat,
dan menyesuaikan nada suara sesuai emosi.
Ketiga, dari pementasan drama “Orang-orang
di tikungan jalan” karya W.S. Rendra ini, siswa berlatih berbicara di depan
teman kelompoknya, dilanjutkan pementasan di depan teman sekelasnya secara
bergantian dan terus berulang. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan berbicara
di khalayak. Berperan di panggung membantu mengatasi rasa gugup dan melatih
keberanian tampil dihadapan orang lain.
Keempat, siswa mengasah kemampuan
berkomunikasi. Siswa belajar berdialog, mendengarkan lawan main, dan bertindak
dengan cepat dan tepat. Mengembangkan kosakata dan ekspresi. Naskah drama “Orang-orang
di Tikungan Jalan” telah memperkaya kata-kata yang digunakan dalam berbagai
situasi dan gaya bahasa.
Kelima, pementasan drama “Orang-orang di tikungan jalan” karya W.S.
Rendra ini melatih meningkatkan rasa empati antar siswa kelas XI DKV SMK St.
Aloisius. Melalui drama, siswa belajar memahami perasaan karakter lain dan
berinteaksi secara efektif.
Setelah bermain drama, 18 siswa yang
sebelumnya (merasa) introvert mulai menunjukkan perubahan positif. Melalui
peran yang dimainkan, siswa belajar mengekspresikan diri, berbicara di depan
orang lain, dan bekerja sama dengan siswa lain. Meskipun awalnya tampak ragu
dan malu, namun seiring waktu rasa percaya dirinya tumbuh ketika menyadari
bahwa setiap kata dan gerakannya memiliki makna.
Dengan demikian, drama tidak hanya
memperkaya pengalaman seni tetapi juga mengasah kemampuan komunikasi dan empati
seseorang. Melalui latihan dialog, kerja sama antar pemain, serta keberanian
tampil di depan umum, seseorang belajar menyampaikan pesan dengan jelas,
ekspresif, dan penuh makna. Bermain drama bukan sekadar kegiatan seni,
melainkan pembelajaran berharga membangun kepercayaan diri dan keterampilan
berbicara yang efektif.
Beberapa saran akhir: bagi penulis,
disarankan untuk terus memperdalam kajian tentang peran seni, khususnya drama,
dalam pengembangan komunikasi siswa agar hasil penelitian semakin kaya. Bagi
siswa, hendaknya lebih aktif dan berani terlibat dalam kegiatan drama karena
memalui pengalaman tersebut, kemampuan berbicara, kerja sama, dan kepercayaan
diri dapat berkembang secara alami. Sementara bagi sekolah, diharapkan dapat
memberikan ruang dan dukungan lebih besar terhadap kegiatan drama, baik melalui
pembelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler, sehingga menjadi sarana efektif
dalam meningkatkan keterampilan berbicara sekaligus membentuk karakter siswa
yang kreatif.
Ruteng, 17 Oktober 2025